all about bali and culture
Posted by : Jukutbuangit.blogspot.com
Sunday, March 5, 2017
Pernahkah Anda mendengar kata
Makepung? Makepung merupakan tradisi balapan sapi tradisional Bali yang
terdapat di Kabupaten Jembarana, salah satu kabupaten di bagian barat Pulau
Bali. Makepung hampir sama dengan tradisi Karapan Sapi di Madura. Berikut kami
paparkan cerita sejarah Kabupaten Jembrana yang memiliki tradisi Makepung
tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis
dapat di interprestasikan bahwa munculnya komunitas di Jembrana sejak 6000
tahun yang lalu. Dari perspektif semiotik, asal-usul nama tempat atau kawasan
mengacu nama-nama fauna dan flora. Munculnya nama Jembrana berasal dari kawasan
hutan belantara (Jimbar-Wana) yang dihuni raja ular (Naga-Raja). Sifat-sifat
mitologis dari penyebutan nama-nama tempat telah mentradisi melalui cerita
turun-temurun di kalangan penduduk. Berdasarkan cerita rakyat dan tradisi lisan
(folklore) yang muncul telah memberi inspirasi di kalangan pembangun lembaga
kekuasaan tradisional (raja dan kerajaan).
Raja dan pengikutnya yaitu rakyat
yang berasal dari etnik Bali Hindu maupun dari etnik non Bali yang beragama
Islam telah membangun kraton sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama Puri
Gede Jembrana pada awal abad XVII oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang).
Raja I yang memerintah di kraton (Puri) Gede Agung Jembrana adalah I Gusti
Ngurah Jembrana. Selain kraton, diberikan pula rakyat pengikut (wadwa),busana
kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka berupa tombak dan tulup. Demikian
pula keris pusaka yang diberi nama "Ki Tatas" untuk memperbesar
kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang berkuasa di pusat
pemerintahan yaitu di Kraton (Puri) Agung Jembrana.benyaha.tk
Sejak kekuasaan kerajaan dipegang
oleh Raja Jembrana I Gusti Gede Seloka, Kraton (Puri) baru sebagai pusat
pemerintahan dibangun. Kraton (Puri) yang dibangun itu diberi nama Puri Agung
Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih dikenal dengan nama Puri Agung
Negara. Patut diketahui bahwa raja-raja yang memerintah di Kerajaan Jembrana
berikutnya pun memusatkan birokrasi pemerintahannya di Kraton (Puri) Agung
Negara. Patut dicatat pula bahwa ada dua periode birokrasi pemerintahan yang
berpusat di Kraton (Puri) Agung Negara.
Periode pertama ditandai oleh
birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional yang berlangsung sampai tahun 1855.
Telah tercatat pada lembaran dokumen arsip pemerintahan Gubernemen bahwa
kerajaan Jembrana yang otonom diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka Ratoe)
I Goesti Poetoe Ngoerah Djembrana (1839 - 1855). Ketika berlangsung
pemerintahannya lah telah ditanda tangani piagam perjanjian persahabatan
bilateral anatara pihak pemerintah kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial
Hindia Belanda (Gubernemen) pada tanggal 30 Juni 1849.
Periode kedua selanjutnya digantikan
oleh birokrasi modern, melalui tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang
merupakan bagian dari wilayah administratif Keresidenan Banyuwangi.
Pemerintahan daerah Regentschap yang dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent)
sebagai pejabat yang dimasukkan dalam struktur birokrasi Kolonial Modern
Gubernemen yang berpusat di Batavia. Status pemerintahan daerah (Regentschap)
berlangsung selama 26 tahun (1856 - 1882).
Pada masa Kerajaan Jembrana VI I
Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 - 1866) mengalami dua peralihan status yaitu
1855 - 1862 sebagai Raja Jembrana dan 1862 - 1866 sebagai status Regent
(Bupati) kedudukan kerajaan berada di Puri Pacekan Jembrana. Ketika
reorganisasi pemerintahan di daerah diberlakukan berdasarkan Staatblad Nomor
123 tahun 1882, maka untuk wilayah administratif Bali dan Lombok diberi status
wilayah administratif Keresidenan tersendiri. Wilayah Keresidenan Bali dan
Lombok dibagi lagi menjadi dua daerah (Afdelingen) yaitu Afdeling Buleleng dan
Afdeling Jembrana berdasarkan Staatblad Nomor 124 tahun 1882 dengan satu
ibukota yaitu Singaraja. Selanjutnya daerah Afdeling Jembrana terbagi atas
distrik-distrik yang pada waktu itu terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik
Negara, Distrik Jembrana, dan Distrik Mendoyo. Masing-masing distrik dikepalai
oleh seorang Punggawa. Selain distrik juga diberlakukan jabatan Perbekel,
khusus yang mengepalai komunitas Islam dan komunitas Timur Asing sebagai
kondisi daerah yang unik dari sudut interaksi dan integrasi antar etnik dan
antar umat beragama.
Sejak reorganisasi tahun 1882 telah
ditetapkan dan disyahkan nama satu ibukota untuk Keresidenan Bali dan Lombok
yaitu Singaraja, yang akan membawahi daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan
Jembrana. Akan tetapi, pada proses waktu selanjutnya memperhatikan munculnya
aspirasi masyarakat di dua daerah afdeling (Buleleng dan Jembrana), maka pihak
Gubernemen menanggapi positif.
Respon positif pihak Gubernemen di
Batavia dapat dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah Lembaran Negara (Staatsblad)
tersendiri untuk melakukan pembenahan (Reorganisasi) tata pemerintahan daerah
di daerah-daerah (Afdeling) Buleleng dan Jembrana. Pihak Gubernemen dan segenap
jajaran bawahan di Departemen Dalam Negeri (Binnenlandsch Bestuur) sangat
memperhatikan dan mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat untuk menetapkan
nama-nama ibukota Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Pihak
Gubernemen dalam pertimbangannya ingin mengakhiri kebiasaan yang menyebut nama
Ibukota Afdeling Buleleng dan Jembrana di Keresidenan Bali dan Lombok dengan
nama lebih dari satu. Semula (Tahun 1882-1895) hanya diberlakukan satu nama
Ibukota yaitu Singaraja untuk wilayah Keresidenan Bali dan Lombok yang
membawahi Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak
disetujui dan untuk kemudian, ditetapkanlah nama-nama Ibukota daerah tersendiri
terhadap Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana di Keresidenan Bali dan
Lombok. Berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsch - Indie Nomor 175 Tahun 1895,
sampai seterusnya ditetapkanlah Singaraja dan Negara sebagai ibukota dari
masing-masing Afdeling. Dengan demikian, sejak 15 Agustus 1895 berakhirlah nama
satu ibu kota: Singaraja sebagai ibukota Keresidenan Bali dan Lombok yang
membawahi Daerah-daerah Afdeling Buleleng dan Afdeling Jembrana. Sejak itu pula
dimulailah nama-nama Ibukota: Singaraja untuk Keresidenan Bali dan Lombok dan
Daerah bagiannya di Afdeling Buleleng, serta Negara untuk Daerah Bagian
Afdeling Jembrana.
Munculnya nama-nama Jembrana dan
Negara hingga sekarang, memiliki arti tersendiri dari perspektif historis.
Rupanya nama-nama yang diwarisi itu telah dipahatkan pada lembaran sejarah di
Daerah Jembrana sejak digunakan sebagai nama Kraton (Puri) yaitu Puri Gede /
Agung Jembrana dan Puri Agung Negeri Negara. Oleh Karena Kraton atau Puri
adalah pusat birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional, maka dapat dikatakan
bahwa Jembrana dan Negara merupakan Kraton-kraton (Puri) yang dibangun pada
permulaan abad XVIII dan permulaan abad XIX adalah tipe kota-kota kerajaan yang
bercorak Hinduistik. Jembrana sebagai sebuah kerajaan yang ikut mengisi
lembaran sejarah delapan kerajaan (asta negara) di Bali.
Sejak 1 Juli 1938, Daerah (Afdeling,
regentschap) Jembrana dan juga daerah-daerah afdeling (Onder-afdeling,
regentschap) lainnya di Bali ditetapkan sebagai daerah-daerah swapraja
(Zelfbestuurlandschapen) yang masing-masing dikepalai oleh Zelfbestuurder
(Raja). Raja di Swapraja Jembrana (Anak Agoeng Bagoes Negara) dan Raja-raja di
swapraja lainnya di seluruh Bali terlebih dahulu telah menyatakan kesetiaannya
terhadap pemerintah Gubernemen.
Anak Agung Bagoes Negara memegang
tampuk pemerintahan di swapraja Jembrana secara terus-menerus selama 29 tahun
meskipun terjadi perubahan tatanegara dalam sistem pemerintahan.
Kepemimpinannya di Jembrana berlangasung paling lama dibandingkan dengan
kepemimpinan yang dipegang oleh pejabat-pejabat pelanjutnya.Selama
kepemimpinannya pula, dua nama yaitu Jembrana dengan ibukotanya Negara
senantiasa terpateri dalam lembaran sejarah pemerintah di Jembrana, baik dalan
periode Pendudukan Jepang (Tahun 1943-1945), peiode Republik Indonesia yang
hanya beberapa bulan (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke periode
bentuk Negara Indonesia Timur (Tahun 1946-1950) maupun pada waktu kembali ke
periode bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tahun 1950-1958).
Jabatan Bupati Kepala Daerah
Swatantra Tingkat II Jembrana untuk pertama kalinya dijabat oleh Ida Bagus Gede
Dosther dari tahun 1959 sampai tahun 1967. Pada periode selanjutnya jabatan
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jembrana dijabat oleh Bupati Kapten R. Syafroni
(Tahun 1967-1969); Pjs Bupati Drs. Putu Suasnawa (11 Maret - 30 Juni 1969);
Bupati I Ketut Sirya (30 Juli 1969-31 Juli 1974); Pjs Bupati Drs. I Nyoman
Tastra (31 Juli 1974 - 28 Juli 1975); Bupati Letkol. Liek Rochadi (28 Juli 1975
- 26 Agustus 1980); Bupati Drs. Ida Bagus Ardana (26 Agustus 1980 - 27 Agustus
1990); Bupati Ida Bagus Indugosa,S.H Selama dua kali masa jabatan (27 Agustus
1990 - 27 Agustus 1995 dan dari 27 Agustus 1995 - 27 Agustus 2000); Plt Bupati
I Ketut Widjana, S.H (28 Agustus 2000 - 15 Nopember 2000), Prof.Dr.drg. I Gede
Winasa menjabat sebagai Bupati Jembrana selama dua periode (15 Nopember 2000 -
10 Oktober 2010) dan I Putu Artha SE, MM. sejak 16 Februari 2011 sampai saat
ini.
Dapat dikatakan bahwa, sejak gelar
"Bupati" yang mengepalai pemerintahan di Daerah Tingkat II Jembrana
untuk pertama kali diberlakukan pada tahun 1959 sampai saat ini, nama
"Negara" sebagai ibukota Daerah Kabupaten Jembrana tetap dilestarikan.
SEJARAH TRADISI MEKEPUNG
Makepung adalah tradisi bali sama seperti karapan sapi hanya saja makepu menggunakan hewan kerbau. Mekepu berasal dari kabupaten jembrana, bali. Makepung artinya berkejar-kejaran inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai Bajak Lampit Slau. Atraksi Mekepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan Sais-nya berpakain ala prajurit Kerajaan di Bali zaman dulu yaitu memakai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan dipinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng (warna hitam putih). Makepung dibagi menjadi 2 wilayah (blok) yaitu blok barat(hijau), blok timur (merah).
Makepung adalah tradisi bali sama seperti karapan sapi hanya saja makepu menggunakan hewan kerbau. Mekepu berasal dari kabupaten jembrana, bali. Makepung artinya berkejar-kejaran inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai Bajak Lampit Slau. Atraksi Mekepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan Sais-nya berpakain ala prajurit Kerajaan di Bali zaman dulu yaitu memakai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan dipinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng (warna hitam putih). Makepung dibagi menjadi 2 wilayah (blok) yaitu blok barat(hijau), blok timur (merah).
Saat ini mekepung di jadikan ajang
perlombaan yang menarik. Berbeda dengan dulu saat ini pakaian joki makepung
sudah berubah hanya menggunakan kaos berkerah lengan panjang, pengikat kepala
dan celana panjang. Sistem pertandingan makepung sangatlah unik berbeda dengan
karapan sapi yang di mainkan di lapangan yang datar. Makepung di mainkan di
jalanan yang datar dan lebar yang relatif hanya muat 1 makepung. Sistem
pertandingan makepung adalah apabila makepung yang di depan bisa menjaga jarak
10 meter dari makepung yang di belakang maka makepung depanlah yang menang dan
apabila mekepung yang di depan tidak bisa menjaga jarak 10 meter dari makepung
yang di belakang maka makepung belakanglah yang menang. Pesan moral yang dapat
di ambil dari tradisi makepung adalah kerja keras, keberanian, dan kerjasama.