all about bali and culture

Archive for January 2017

Makna dan Cara melaksanakan Siwaratri



Di dalam agama Hindu terdapat Hari Raya Siwaratri, yang dilaksanakan setahun sekali setiap purwaning tilem ke-7 (sasih kepitu) tahun Caka.  Hari Raya Siwaratri ialah hari suci yang digunakan dalam rangka melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa.

Pengertian  dan Makna Siwaratri

Siwaratri artinya malam Siwa. Jika diuraikan terdiri dari 2 kata, yaitu Siwa dan Ratri. Siwa dalam bahasa Sansekerta berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan dan juga Siwa dapat diartikan sebagai sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.
Sedangkan Ratri artinya malam, yang dapat diartikan juga sebagai kegelapan. Jadi Siwaratri dapat diartikan sebagai malam pemerilina atau pelebur kegelapan dalam diri dan hati untuk menuju jalan yang lebih terang.
Dalam memaknai Hari Raya Siwaratri tidak sedikit yang beranggapan bahwa Siwaratri bertujuan untuk melebur dosa. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan adanya Hukum Karma Phala? Jika dosa bisa dilebur hanya dalam satu malam (Siwaratri ). Menurut pengamat agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ”Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya ‘penyatuan’ Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri.
Sebagai malam perenungan, kita mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini kita memohon diberi tuntunan agar dapat keluar dari perbuatan dosa.

Cara Pelaksaan Siwaratri

Secara rinci Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari Siwaratri adalah sebagai berikut:
  1. Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
  2. Monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Pelaksanaannya dilangsungkan di pagi hari dan dilakukan selama 12 jam tepatnya dari jam 06.00 – 18.00.
  3. Mejagra atau tidak tidur selama semalaman. Pelaksanaannya berlangsung dari pagi sampai pagi hari di keesokan harinya yang dilakukan selama 36 jam dari jam 06.00 – 18.00 di keesokan harinya.
  4.  Upawasa atau tidak makan dan tidak minum. Puasa ini dilakukan selama 24 jam dari jam 06.00 – 06.00. Apabila sudah 12 jam maka diperbolehkan untuk makan dan minum dengan syarat bahwa nasi yang dimakan ialah nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).
Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula  dalam melaksanakan Siwaratri.
  1. Tingkat Utama, melaksanakan :
    1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara),
    2. Mejagra (berjaga, tidak tidur), 
    3. Upawasa (tidak makan dan tidak minum)
  2. Tingkat Madya, melaksanakan :
    1. Mejagra, 
    2. Upawasa
  3. Tingkat Nista, melaksanakan :
    1. Mejagra
Dalam menjalankan kegiatan Siwaratri diakhiri dengan melakukan persembahyangan dan memohon kepada Sang Hyang Siwa supaya diberikan berkah dan ampunan, dan juga dikembalikan menjadi manusia yang suci dan paripurna serta memohon ditunjukan jalan terang agar terhindar dari perbuatan dosa.
Jadi dapat disimpulkan bawah Hari Raya Siwaratri bukanlah hari penebusan dosa melainkan perenungan dosa yang selama ini telah kita perbuat. Hukum Karmaphala tetap akan berlaku, akan tetapi diyakini dengan menjalankan Brata Siwaratri niscaya kedepannya kita akan mampu mengendalikan diri sehingga dapat terhidar dari perbuatan dosa.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap. Mohon dikoreksi bersama. Suksma.

Legenda Tertelannya Dewi Ratih


Alkisah, di Kerajaan Wisnuloka dipimpin oleh Dewa Wisnu. Kerjaan Wisnuloka dihuni oleh para dewa dan bidadari. Salah satu bidadari itu bernama Dewi Ratih atau Dewi Bulan.
Kerajaan Wisnuloka sering mendapat ancaman dari para raksasa yang bermukim di Bumi Balidwipa. Diantara para raksasa itu, yang paling menakutkan adalah Kala Rau. Ia bertubuh besar dan kekar. Wajahnya sangat menyeramkan. Ia pun sangat sakti. Kesaktiannya melebihi kesaktian beberapa dewa. Kala Rau mengancam akan meyerang Kerajaan Wisnuloka karena cintanya ditolak oleh Dewi Ratih atau Dewi Bulan.
Dewa Wisnu berfikir panjang. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah membagikan tirta amerta (air kehidupan) kepada para dewa. Tirta amerta itu dapat menghindarkan para dewa dari kematian saat Kala Rau menyerang kerjaan Wisnuloka. Dewa Wisnu lalu memberikan kendi yang berisi tirta amerta kepada para dewa. Dewa Wisnu berpesan setiap dewa cukup minum seteguk titra amerta.
Satu demi satu dewa pun minum titrta amerta dari kendi tersebut. Mula-mula Dewa ISwara, kemudian Dewa Sambu, Brahma, Maha Dewa, dan Sasngkara. Ketika geliran tiba pada Dewa Kuwera, Dewa Wisnu mencium bau aneh. Dewa Wisnu merasakan sosok Dewa Kuera mencurigakan. Kecurigaan Dewa Wisnu semakin besar setelah melihat Dewa Kuera meneguk titra amerta berkali-kali.
Tiba-tiba Dewa Wisnu berteriak,”Kamu bukan Kuera! Kamu Raksasa Kala Rau!”
Semua dewa mendengar teriakan Dewa Wisnu terkejut. Dewa Wisnu lalu memanah leher Dewa Kuera palsu itu. Perlahan-lahan Dewa Kuera berubah menjadi Kala Rau. Leher Kala Rau putus dan kepala terpisah dari badannya. Dengan segera, para dewa membuang badan Kala Rau ke bumi. Bangkai tubuh Kala Rau yang dibuang ke bumi berubah menjadi kentungan atau lesung.
Sedangkan kepala Kala Rau yang terpisah dari badanya melayang-layang di angkasa. Kepala itu belum menjadi bangkai karena sempat meminum tirta amerta. Air yang diminumnya baru sampai kerongkongan. Oleh sebab itu, kepala Kala Rau masih tetap hidup.
Pada suatu ketika, saat bulan purnama, kepala Kala Rau berjumpa dengan Dewi Ratih. Kepala Kala Rau lalu menghadang Dewi Ratih.
“Dewi Ratih! Kamu tidak dapat menghindar dari ku lagi! Kamu tidak dapat menolak cintaku. Kini kamu menjadi milikku!” kata Kala Rau kepada Dewi Ratih.
Tubuh Dewi Ratih gemetar mendengar kata-kata Kala Rau. Ia tidak dapat menghindar saat kepala Kala Rau semakin mendekat dan mendekapnya. Tubuh Dewi Ratih yang cantik itu perlahan-lahan tertelan Kala Rau.
Raksasa yang rakus itu mengira tubuh Dewi Ratih masuk ke perutnya. Ternyata dugaan Kala Rau salah. Sesaat kemudian, sedikit demi sedikit tubuh Dewi Ratih muncul kembali.
Ketika tubuh Dewi Ratih tertelan kepala Kala Rau, Bumi Balidwipa menjadi gelap. Peristiwa tertelannya tubuh Dewi Ratih oleh Kala Rau dipercaya oleh penduduk Balidwipa sebagai penyebab terjadinya Gerhana Bulan.  Oleh karena itu, setiap terjadi Gerhana Bulan penduduk beramai-ramai memukul kentungan, lesung, dan alat  bunyi-bunyian lain.

Makna Banyu Pinaruh


Banyu Pinaruh dirayakan setelah Rahina SaraswatiBanyu pinaruh berasal dari kata banyu yang artinya air (kehidupan), dan pinaruh yang berasal dari kata weruh atau pinih weruh. Weruh sendiri bermakna pengetahuan, sehingga dapat dikatakan banyu pinaruh adalah hari dimana kita memohon sumber air pengetahuan.
Banyu pinaruh merupakan titik awal periode wuku di Bali, sehingga akan sangat baik jika sebelum kita mengawali suatu periode yang baru dan sebelum kita mengisi diri dengan pengetahuan, alangkah baiknya kita membersikan tubuh ini dengan air suci (penglukatan). Disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109
“Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.”
Artinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.

Melukat Saat Banyu Pinaruh

Penglukatan dapat dilakukan di beberapa tempat seperti Sumber mata air (klebutan), Campuhan (pertemuan aliran sungai dan laut), Pantai, Merajan. Penglukatan sendiri dapat dipuput oleh Pandita, Pinandita/Pemangku, ataupun dilakukan sendiri langsung ke sumber-sumber mata air seperti klebutan, campuhan, maupun di pantai. Banten pengelukatan yang paling sederhana dapat menggunakan canang sari atau pejati sebagai atur piuning/permakluman dalam memohon air suci.
Drs. Nyoman Sujana mengatakan, saat Banyu Pinaruh umat melaksanakan suci laksana, mandi dan keramas menggunakan air kumkuman di segara. Kegiatan itu bertujuan untuk ngelebur mala. ”Segara itu kan tempat peleburan dasa mala. Dengan melakukan prosesi itu diharapkan terjadi keseimbangan lahir dan batin,” katanya.
Selain pada tempat-tempat yang telah disebutkan diatas, jika tidak sempat juga bisa dilakukan dirumah. Semua itu dibenarkan oleh ajaran agama Hindu seperti yang tertuang dalam buku kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu I-XI.
Jadi dapat disimpulkan Rahina Banyu Pinaruh adalah hari yang baik, hari dimana kita memohon sumber air pengetahuan untuk membersihkan kekotoran atau kegelapan pikiran (awidya) yang melekat dalam tubuh umat.  Seperti yang tertuang dalam   Bhagavad Gita IV.36, yaitu berbunyi:
“Api ced asi papebhyah, sarwabheyah papa krt tamah, sarwa jnana peavenaiva vrijinam santarisyasi
Artinya : walau engkau paling berdosa di antara manusia yang memiliki dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa akan dapat engkau seberangi
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. 




Sistem Pembagian Warisan dalam Hukum Waris Adat Bali


Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang ditnggalkan, baik setelah pewaris meinggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup. Hubungan hukum ini merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan keadaan hukum yang mengakibatkan terjadi perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian perubahan dan peralihan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara tepat dan beraturan.
Proses yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya yang sah dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya perolehan berdasarkan kedudukan para pihak karena ditentukan oleh hukum.
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia ( pewaris ). Pengertian harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti religius. Setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain : harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.
Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi :

1. Harta Pusaka

Harta Pusaka adalah harta yang mempunyai nilai magis religius dan lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses pewarisannya dipertahankan di lingkungan keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari lingkungan keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya berkaitan dengan tempat-tempat persembahyangan, sehingga keutuhannya tetap dipertahankan demi kepentingan keagamaan dan bukan untuk kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis harta pusaka di Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura dan druwe tengah.

2. Harta bawaan

Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa
atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini disebut harta bebaktan yang terdiri dari :
a). Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-masing atas jerih payah sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan.  Setelah kawin dan mereka hidup rukun sebagai suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama / druwe gabro
b). Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua kepada anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk perkawinan. Pemberian jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa penerima jiwa dana dapat memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin keluar, istri yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa harta jiwa dana tersebut.

3. Harta bersama

Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan. Pada hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang menyebut guna kaya, maduk sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih dan sebagainya. Apabila terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya ( druwe gabro ) itu harus dibagi dua sama rata.
Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-lakiberkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi lakinlaki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok 1900, yang menentukan syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari keluarga kepurusa terdekat dan paling jauh dalam derajat kedelapan ( mingletu menurut stelsel klasifikasi ) menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu atau degan izin pemerintah.
Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan keluarga asal jadi putus.  Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat di Bali pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain hak waris ) yang sama dengan seorang anak kandung. 

Sejarah dan Pantangan Pura Lempuyang


Pura Lempuyang terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua keberadaannya di Bali. Bahkan ada yang memperkirakan sudah ada pada zaman pra – Hindu-Budha, yang semula bangunan suci terbuat dari batu. Pura Lempuyang merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.

Sejarah Pura Lempuyang

Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ”Lempuyang Luhur” disebutkan, lempuyang berasal dari kata ”lampu” artinya sinar dan ”hyang” untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot).
Ada juga versi  lain yang menyebutkan lempuyang adalah sejenis tanaman yang dipakai bumbu masak. Hal itu juga dikaitkan dengan nama banjar di sekitar Lempuyang yaitu Bajar Bangle dan Gamongan. Bangle dan Gamongan merupakan tanaman sejenis yang bias dipakai obat dan bumbu. Versi lain ada juga yang menyebut lempuyang berasal dari kata ‘empu’ atau ‘emong’ yang diartikan menjaga. Bhatara Hyang Pasupati mengutus tiga putranya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai guncangan bencana alam.
Dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dinyatakan; Sang Hyang Parameswara membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambhudwipa ( India ), dari Gunung Mahameru. Potongan Gunung Mahameru itu dibawa ke Bali dan dipecah menjadi tiga bagian besar dan juga bagian-bagian kecil. Bagian tengahnya dijadikan Gunung Batur dan Rinjani, sedangkan puncaknya menjadi Gunung Agung. Pecahannya yang lebih kecil menjadi deretan gunung-gunung di Bali yang berhubungan satu sama lainnya. Gunung-gunung tersebut adalah Gunung Tapsahi, Pengelengan, Siladnyana, Beratan, Batukaru, Nagaloka, Pulaki, Puncak Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andhakasa, Uluwatu, Sraya, dan gunung lempuyang. Gunung-gunung itu sebagai stana para Dewa manifestasi Tuhan untuk menjaga Bali.
Dalam lontar itu juga disebutkan bahwa Sang Parameswara menugaskanputranya Sang Hyang Agnijayasakti turunke Bali dan menjaga kesejahteraan Bali dan beliau ber-stana di Gunung Lempuyang bersama dengan dewa-dewa lainnya.
Sekitar tahun 1950 ditempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup. Dibagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tidak ada lagi. Diduga pohon itu tumbang atau mati pelan-pelan tanpa ada generasi baru menggantikannya. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar, dan sebuah padma tunggal bale piyasan.
Pura Lempuyang memiliki status penting, sama seperti Pura Besakih. Baik dalam konsep padma bhuwana, catur loka pala ataupun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga Pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Pura lempuyang.
Mengutip sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan,
orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini.Sebab,jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bias  tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut:
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ”Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,” ujar Jero Mangku.

Pantangan di Pura Lempuyang

Menurut Jero Mangku Gede Wangi , ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar ketika hendak naik ke Pura Lempuyang Luhur dan jika dilanggar akan berdampak buruk.  Pantangannya yaitu sebagai berikut:
  1. sejak awal, pikiran, perkataan, dan perbuatan harus disucikan
  2. Tidak boleh berkata kasar saat perjalanan
  3. Orang cuntaka, wanita haid, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau sembahyang ke  pura
  4. Tidak boleh membawa perhiasan emas, karena kerap kali jika membawa perhiasan emas akan hilang secara misterius
  5. Membawa makanan atau makan daging babi saat ke Pura Lempuyang, karena daging babi terbilang cemer
Menurut cerita Jero Mangku Gede Wangi, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ”Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,” ujar Jero Mangku.
Sebagai umat Hindu khususnya di Bali, seperti yang sudah di katakan Jero Mangku Gede Wangi. Kita tidak boleh melupakan Pura Lempuyang hendaknya kita menyempatkan sesekali untuk tangkil kesana. Dan pantangan-pantangannya harus kita ingat dan pahami. 

Sejarah Terbentuknya Kasta di Bali


Kata kasta berasal dari bahasa spanyol atau portugis (casta) yang artinya pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu (Bangsa-bangsa Kerajaan Nusantara).
Dalam agama Hindu sebenarnya tidak ada atau tidak mengenal istilah kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.

Pembagian  Catur Warna

Catur Warna dibagi atau dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
  1. Brahmana, Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Jika dalam kasta diberi gelar Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).
  2. Ksatrya, Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Jika di dalam kasta di beri gelar Anak Agung.
  3. Wesya, Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain). Jika dalam kasta diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).
  4. Sudra, Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Jika dalam kasta tidak terdapat gelar. Biasanya Diberi nama depan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.

Sejarah Adanya Kasta

Di Indonesia Kasta tidak pernah ditemukan sampai akhir kerajaan Hindu Majapahit  abad 14 akhir. Kasta baru ada di Indonesia setelah kerajaan Hindu  Majapahit runtuh. Bukti dari tidak adanya kasta pada masa kerjaan Majapahit bisa dilihat pada beberapa contoh seperti
  1. Mpu Sendok, seorang Brahmana, anak-anaknya menjadi Ksatrya di  Medang Kemulan.
  2. Patih Gajah Mada, Perdana menteri Majapahit, lahir dari keluarga yang tidak diketahui ( bukan darikeluarga atau keturunan Ksatrya maupun  Brahmana), Kemudian menjadi Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia
  3. Damar Wulan, Seorang pengangon kuda ( tukang arit rumput ), kemudian bisa menjadi Raja (Ksatrya) di Majapahit dan berganti nama menjadi Brawijaya.
Itu merupakan beberapa contoh saja dan masih banyak lagi pembuktiannya. Dari itu bisa disimpulkan bahwa pada masa kerajaan Majapahit siapapun dan latar belakang apapun mereka dapat menjadi seorang dengan kasta Ksatrya, bukan berdasarkan keturunan tapi melalui sebuah proses serta ketrampilan yang dimilikinya.
Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda pun datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi” pada masa itu. Sehingga terjadilahi  polemik (pro dan kontra)  masyarakat Hindu di  Bali,  dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.

Sejarah Pro dan Kontra Kasta di Bali

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu  bukannya tidak pernah ada, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme.  Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya.  Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak.

Perkembangan Kasta Di Jaman Modern

Pada dewasa ini seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Bali sendiri sebagian besar sudah mulai memudarkan paham kasta dan hanya sebagai formalitas pada nama saja. Tidak lagi membeda-bedakan, siapa saja bisa menjadi pemimpin asal mempunyai ketrampilan dan sikap teladan. Meskipun demikian masih ada yang memegang prinsip kasta itu. Seperti contohnya dalam perkawinan, tidak dibolehkan menikah dengan kasta yang berada dibawahnya. Tentu hal ini merupakan sebuah hak setiap orang karena sejatinya setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda.
Kesimpulannya menurut kami adalah kasta itu sendiri tidak perlu dihilangkan karena itu sudah melekat dengan Bali akan tetapi yang perlu dihilangkan adalah sikap membeda-bedakan seseorang seperti memandang rendah atau memandang tinggi seseorang melalui kastanya. Jika terdapat penjelasan dan sejarah yang kurang tepat pada artikel ini. Mohon maaf dan mari kita koreksi bersama. Suksma

Kisah, Mitos dan Misteri Kembar Buncing

Kembar buncing adalah kondisi dimana bayi kembar yang dilahrikan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Bali yang masih menganut kepercayaan buruk tentang bayi kembar buncing dan keluarganya membuat aturan yang menyudutkan keluarga tersebut. Berikut sepenggal kisah tentang kebahagiaan, kesedihan, dan perjuangan dari keluarga yang memiliki bayi kembar buncing, cerita ini dilansir dari smbbali.co.id.
Luh Sarni telah melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya. Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.
“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.
SAMPAI di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.
“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.
Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”
“Panen akan gagal lagi.”
“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balai desa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balai desa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balai desa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balai desa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balai desa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.
Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.
Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.
Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.
Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.
Tidak cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu.
Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran.
Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.

Cara Menguji Kebenaran Orang Yang Sedang Kesurupan

Kalau berbicara masalah kerauhan, ini merupakan sebuah fenomena religi yang memang banyak kita saksikan ketika orang menggelar ritual keagamaan. Terutama pada konsep Dewa Yadnya atau odalan di pura. Ada anggapan masyarakat bahwa kalau orang ngodalin atau mekarya di pura, kalau tidak ada kerauhan, berarti Ida Bhatara tidak turun menyaksikan. Tapi ini kan tidak bisa dibuktikan. Mana tedunnya Bhatara benaran dan mana yang mengada-ada.
Ketika kita melakukan ritual, dalam aspek psikologis dan rasa, sesungguhnya berupacara merupakan ungkapan rasa mesra atau kerinduan dengan Ida Bhatara. Karena Ida Sang Hyang Widhi dengan prabawanya Bhatara itu bersifat abstrak, sangat sulit untuk kita berkomunikasi.
Saat itulah rasa-rasa mesra dan ekspresi kerinduan dengan Tuhan itu, menyebabkan orang yang ikut dalam ritual tersebut seakan-akan bisa masuk pada alam berbeda atau niskala. Alam yang berbeda inilah kemudian menimbulkan kerauhan. Dalam Tatwa Siwa Purana dikatakan, apabila ada orang yang mengaku-ngaku Dewa atau manifestasi Tuhan yang memasuki orang itu (kerauhan), itu mesti harus diuji coba terlebih dahulu dengan api pembakaran tempurung kelapa.
Kalau ternyata tidak terbakar oleh api, berarti betul yang bersangkutan memang kelinggihin atau dimasuki roh suci. Tapi kalau ternyata terbakar, itu berarti kerauhan bohongan dan menyebabkan pura tersebut menjadi leteh. Maka dengan hal demikian, tentu bila hal ini kita lakukan, menjadi sangat berat kalau orang sampai terbakar. 

Namun, hal ini dapat menjadi shock theraphy supaya jangan sampai ada yang mengaku-ngaku Dewa. Malah akan jadi masalah. Apalagi orang-orang yang suka kerauhan perilakunya di masyarakat tidak benar, ini akan merusak desa atau banjar itu sendiri.
Marilah kita beragama yang cerdas. Kerauhan silahan saja. Tapi masyarakat harus tahu bagaimana ciri-ciri kebenarannya. Sekarang peranda kasih tahu, ciri-cirinya adalah tidak terbakar oleh api, tidak basah oleh air, dan masyarakat yang ada di areal tempat kerauhan tersebut merasakan bulu kuduk merinding. 

Cerita Ilmu leak "Silur Bangbang" Pengganti Kuburan



Silur bangbang (pengganti kuburan) merupakan rangkain ritual di Bali tatkala kuburan orang yang akan diaben dibongkar kembali untuk mengambil tulang yang yang bersangkutan. Ketika sudah selesai pekerjaan penggalian kuburan tersebut, maka di dalam kuburan dimasukkan, biasanya ayam hitam dan sesajen, sebagai penukar dari wadag (mayat) yang sudah di gali.
Ada suatu keanehan tatkala masyarakat melakukan pengabenan yaitu semua sambah yang terbuat dari tanah liat langsung akan hilang begitu ritual tersebut berakhir. Orang tua-tua bilang bahwa itu disebabkan oleh pasukan rerencangan Ida Bethara yang melakukan kerja bakti malam hari begitu upacara tersebut selesai. Nah hal itu yang akan menjadi titik tolak dari kisah yang akan diceritakan berikut ini.
Ada sebuah kisah dari seseorang yang bernama Nyoman M, cerita ini dikutip dari puragunungsalak.com. Nyoman M merupakan orang yang sangat lugu, pekerjaannya serabutan sebagai petani atau pemanjat pohon kelapa. Beliau sangat penasaran akan kisah tentang rerencangan Ida Bethara yang melakukan kerja bakti di malam hari begitu ritual pengabenan selesai. Oleh sebab itu waktu diadakan acara penggalian kuburan maka Nyoman M segara masuk ke kuburan sebagai silur bangbang. Dia tidak menghiraukan larangan keluarganya karena rupanya rasa penasarannya lebih besar untuk mengetahui hal sebenarnya.
Setelah semua orang pulang dari kuburan, tinggallah Nyoman M sendirian di dalam kuburan dengan hanya ditutupi tikar dan banten di atasnya. Dia sengaja membuat celah untuk dapat mengintip kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Suasana malam itu sangat sepi, maklum penduduk sudah pada kelelahan, hanya lolongan anjing yang terdengar di sana sini. Nyoman M dengan tekad yang bulat berkonsentrasi untuk dapat menangkap apa gerangan yang akan terjadi nanti.
Tepat tengah malam, terdengar suara-suara yang aneh seperti suara orang banyak atau pasukan yang sedang bergerak di setra (kuburan) tersebut. Suara itu makin lama makin keras ditimpali oleh lolongan anjing yang sangat menyayat hati dan suara jengkrik yang bersahutan. Nyoman M merinding sekali menghadapi situasi tersebut, namun karena tekadnya sudah bulat maka perasaan takut dikesampingkan oleh Beliau.
Tiba-tiba Nyoman M melihat gerakan-gerakan yang terjadi di setra tersebut, makin lama makin jelas terlihat mahluk-mahluk yang bentuknya aneh-aneh seperti raksasa besar hitam, ada juga yang sudah tua, anak-anak dan endihan juga terlihat di sana sini jumlahnya sangat banyak. Ada seorang pemipin mahluk tersebut yang bentuknya hitam besar sekali. Mahluk-mahluk tersebut secara kompak mengadakan kerjabakti mengambil sampah-sampah yang terbuat dari tanah liat dan membawanya ke suatu tempat. Karena keterbatasan sudut pandang, Nyoman M tidak secara jelas melihat tujuan dari mahluk-mahluk tersebut.
Kerjabakti tersebut berlangsung sangat ramai dipenuhi oleh suara-suara mahluk yang sangat aneh dan dalam waktu singkat setra tempat pengabenan tersebut menjadi bersih kembali. Dalam hatinya Nyoman M baru mempercayai perkataan orang tua-tua bahwa sehabis pengabenan akan ada kerja bakti untuk membersihkan areal setra tersebut.
Setelah setra menjadi bersih, maka tiba-tiba pemimpin mahluk tersebut menjadi beringas dan menoleh kanan kiri serta menggerakkan hidung seperti mencium sesuatu. Penglihatan mahluk tersebut akhirnya tertuju pada kuburan dimana Nyoman M telah menjadi silur bangbang. Mahluk tersebut langsung berujar ” Matah Bonne” (bau manusia). Pas saat itu Nyoman M mengedipkan matanya, waktu dia membuka matanya tiba-tiba dia melihat setra tersebut sudah menjadi sepi sekali, tidak ada satu pun mahluk yang bisa dia lihat. Akhirnya Nyoman M terbangun dari kuburan dan menuju ke sungai utnuk mandi sebelum menuju ke rumahnya.

Wayang leak atau Wayang calonarang


Wayang Calonarang juga sering disebut sebagai Wayang Leak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari cerita Calonarang.
Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calon arang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (Wayang parwa). Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari:
  • 1 orang dalang
  • 2 orang pembantu dalang
  • 9 orang penabuh
Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Calonarang ini adalah:
  • Katundung Ratnamangali
  • Bahula Duta
  • Pangesengan Beringin
Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa. Hingga kini wayang Calon arang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah wayang parwa.
Wayang calon arang biasanya diselenggarakan pada hari odalan, di daerah-daerah yang oleh masyarakat suku Bali diperkirakan sering dikunjungi leak, misalnya di dekat kuburan atau tempat ngaben. Leak adalah semacam makhluk halus dalam mitologi Bali. Dalam bentuk Wayang Kulit, Wayang Calon Arang menampilkan bentuk-bentuk tokoh makhluk menakutkan. Untuk mempergelarkan Wayang Calon Arang, diperlukan beberapa bebanten atau sesaji yang khusus.

Cara Sembahyang Agama Hindu

Dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi khususnya dalam agama  Hindu di Bali, tentunya sebagai umat wajib melakukan persembahyangan agar Beliau senantiasa melindungi dan membimbing kita.  Jika dijabarkan, sembahyang terdiri dari dua suku kata yaitu Sembah dan Hyang. Sembah yang artinya “sujud atau sungkem” yang dilakukan dengan cara – cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata – kata maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan). Hyang artinya “yang dihormati atau dimuliakan” sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.

Persiapan Persembahyangan Hindu

Dalam melakukan persembahyangan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan yaitu sebagai berikut:
1. Kebersihan jasmani
2. Mempersiapkan sarana-sarana seperti:
  • Alas duduk (tikar, karpet, dsb)
  • Sebuah nampam yag berisikan: Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di pelingih, pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha wangsuhpada.
  • Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi wewangian (bija)
  • Dupa secukupnya
  • Bunga / canang sari / kwangen secukupnya
3. Mempersiapkan secara Rohani, serperti:
  • Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita), Padasana (berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.
  • Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba kepadaMu.
  • Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
  • Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
  • Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.
4. Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:
  • Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
  • Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
  • Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.
5. Karasoddhana
  1. Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba
  2. Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuha, sucikanlah seluruh badan rohani hamba
Setelah semua dilakukan selanjutnya melakukan Puja Tri Sandya kemudian dilanjutkan dengan Kramaning Sembah. Berikut urutan untuk kramaning sembah:
Muspa Muyung:
Om Atma tattvatma suddha mam svaha
Ya Tuhan, Engkau adalah merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah hambaMu.
Muspa dengan bunga ke hadapan Siva Adhitya sebagai saksi pemujaan:

Om Adityasya param jyotih
Rakta teja namo’stute
Sveta pangkaja madhyasta
Bhaskaraya namo’stute
Om Hrang Hring Sah paramasiva adhitya ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber cahaya yang merah cemerlang, penuh kesucian yang bersemayam di tengah-tengah teratai berwarna putih, sembah sujud hamba kepada sumber segala cahaya, Ya Tuhan, Engkau adalah ayah semesta alam, ibu semesta alam, Engkau adalah Paramasiva devanya matahari,anugrahkanlah kesejahtraan lahir-bathin.
Muspa dengan kwangen/bunga ke hadapan Hyang Widhi dengan Ista devataNya:
Om namo devaya adhistanaya
Sarva vyapi vai sivaya
Padmasana eka prathistaya
Ardhanaresvarya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
Muspa dengan kwangen/bunga kehadapan Hyang Widhi untuk memohon waranugraha:
Om anugraha manoharam
Deva datta nugrahaka
Arcanam sarva pujanam
Namh sarva nugrahaka
Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmakam
Laksmi siddhisca dirgahayuh
Nirvighna sukha vrddhisca
Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.
Muspa Muyung, sebagai penutup persembahyangan:
Om deva suksma paramacintya ya namah svaha
Om santih santih santih Om
Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga semuanya damai atas anugrahMu
Tentunya dalam setiap mantra yang dipanjatkan hendaknya kita mampu mengingat akan arti dari setiap mantra tersebut dan juga mampu untuk memahami akan maknanya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Asal Usul Agama Hindu

Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi" ), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).

ETIMOLOGI
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.

KEYAKINAN DALAM AGAMA HINDU
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
4. Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

KONSEP KETUHANAN
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia.Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.






PUSTAKA SUCI

Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
* Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
* Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
KARAKTERISTIK
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.
ENAM FILSAFAT HINDU
Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Kelompok Nastika umumnya kelompok yang lahir ketika Hindu masih berbentuk ajaran Weda dan kitab Weda belum tergenapi. Hindu baru muncul selah adanya kelompok Astika. Kedua kelompok tersebut antara Astika dan Nastika merupakan kelompok yang sangat berbeda (Nastika bukanlah Hindu)
Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) — institusi pendidikan filsafat ortodok yang memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu — yaitu: Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.
Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar, pengaruh dari masing-masing Astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra Hindu dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
KONSEP HINDU
Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna (kasta), pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana, dan lain-lain.
DEWA- DEWI HINDU
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “beResinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.
GOLONGAN MASYARAKAT
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
* Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
* Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
* Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
* Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
PELAKSANAAN RITUAL
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).
SEKTE (ALIRAN) DALAM HINDU
Jalan yang dipakai untuk menuju Tuhan (Hyang Widhi) jalurnya beragam, dan kemudian dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai Hyang Widhi. Aliran terbesar agama Hindu saat ini adalah dari golongan Sekte Waisnawa yaitu menonjolkan kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah Sekte Siwa sebagai pelebur dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu Sekte Siwa, Sekte Sakti (Durga ), dan Sekte Ganesha, serta terdapat pula Sekte Siwa Siddhanta yang merupakan aliran mayoritas yang dijalani oleh masyarakat Hindu Bali, sekte Bhairawa dan Sekte - Sekte yang lainnya. Yang ketiga ialah Sekte Brahma sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.
TOLERANSI UMAT HINDU
Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Sansekerta: एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
— Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)

Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagawadgita, IX:29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula

Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagawadgita, 4:11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagawadgita, 7:21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa dan "Satya Jayate Anertam". Mereka diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Upacara Pemelepeh Linuh (Hindu)



Upacara Pemelepeh Linuh adalah yadnya yang dilaksanakan untuk :
  • memohon keselamatan alam beserta isinya yang berkaitan dengan terjadinya gempa bumi (linuh)
  • yang bertujuan untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Ananta Boga agar melimpahkan keseimbangan alam dan kesejahteraan umat manusia.
Upacara ini sebagaimana yang dilaksanakan oleh kabupaten Badung Gelar Upacara Pemelepeh Linuh yang mengandung suatu maksud bahwa adanya kejadian di Bhuana Agung (alam semesta) akan memberikan pengaruh kepada Bhuana Alit manusia.
Upakara Pemelepeh Linuh ini terdiri dari upakara caru dan banten lainnya.
  • Caru sampai tingkatan menggunakan Asu Bang Bungkem dengan kelengkapan wewalungan yang lainnya letaknya di Jaba Pura Lingga Bhuwana, di Utama Mandala Lingga Bhuana menghaturkan upakara berupa Prayascita dan tebasan Durmanggala, sedangkan
  • Caru Panca Sata dilaksanakan di Pura Dalem masing-masing Desa Adat dan di rumah masyarakat dilaksanakan Caru Sasih di masing-masing lawang/lebuh.
Setelah melaksanakan persembahyangan, para Bendesa nunas tirta yang akan dipakai untuk melaksanakan upacara di masing-masing Desa Adat

Sesangi (Janji dengan Tuhan)



Sesangi atau bahasa gaulnya disebut KAUL atau bahasa kerennya  disebut dengan JANJI. Sesangi sering dilakukan oleh krama Bali untuk maksud tertentu biasanya penuh harapan, bilamana harapan atau tujuannnya terkabul maka akan mempersembahkan/mengaturkan sesuatu. Sesangi sesungguhnya suatu transaksi niskala, transaksi oleh krama kepada yang diminta tolong , disini mengandung unsur kesepakatan pada diri sendiri.
Kesepakatan dalam mesesangi adalah kesepakatan sepihak, dimana hanya dilakukan oleh si pemohon saja, sebab yang diajak atau yang akan diminta (tolong) tidak pernah memberi jawaban secara terbuka. Jadi SESANGI mengandung keyakinan dan suatu perbuatan yang berisi PAMRIH.
Sesungguhnya dasar pelaksanaan SESANGI adalah rasa bhakti, rasa syukur atas anugrah atau atas tekabulnya doa atau keinginan, dan sesungguhnya bukalah PERJANJIAN  kepada Tuhan atau Ratu Batara.
Sesangi  merupakan JANJI kepada diri sendiri untuk selalu atau senantiasa bersyukur atau mensyukuri atas segala karunia dari Tuhan.
Kapan dan dimana biasanya SESANGI dilakukan ?
Sesangi biasanya dilakukan pada saat-saat dan momen tertentu seperti misalnya Dalam keadaan Sakit, mohon di suatu tempat agar diberikan kesembuhan, bila sembuh akan menghaturkan Banten Guling dan sebagainya.
Bisa juga pada anak sekolahan, anak kulihan, bila lulus ujian berjanji MEGUNDUL dan lain sebagainya.

Filosofi Mepeed di Bali (HINDU)



Mepeed (atau Mapeed) merupakan tradisi parade iring-iringan sebagai salah satu rangkaian kegiatan upacara yadnya seperti halnya dalam beberapa kegiatan seperti Upacara Ngangget don bingin, diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lain. Iring-iringan dengan gebogan dalam rangka piodalan di pura sebagai tempat suci umat Hindu.
Lebih lanjut, mepeed dalam rangka piodalan tersebut bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat Hindu Bali kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana disebutkan pariwisatatab, tradisi mepeed di Bali yang bertujuan untuk menghanturkan persembahan suci tersebut yaitu dengan parade yang beriringan diikuti oleh para perempuan Bali yang mengusung Gebogan sebagai rasa syukur atas rejeki yang kita nikmati. Sesampainya di pura, Gebongan yang sudah dibawa oleh peserta kemudian disucikan oleh pemangku setempat. Setelah pensucian dengan memercikan air suci yang disebut Tirtha, barulah persembahyangan dimulai.
Perlu Anda ketahui, untuk menjaga kekhusyukkan biasanya wisatawan yang datang dilarang meliput. Namun tidak perlu khawatir karena bagian yang dilarang diliput hanyalah areal persembahyangannya saja.
Jadi, wisatawan hanya diperbolehkan mengambil gambar dari luar tembok yang dikenal Panyengker atau tembok pagar pura.  Ritual Mapeed ini memang sangat menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara.  Selain tempat pelaksanannya yang indah dengan hamparan sawah yang mengelilinginya, Mepeed dalam panorama Bali disebutkan memang sangat unik dan menarik untuk disaksikan

Memahami makna Caru dalam Agama Hindu

Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.
Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari sebagai bagian dari upacara Butha Yadnya,  Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.Jenis-jenis Caru dan Tawur:Caru Palemahan Bumi Sudha berfungsi untuk mengharmoniskan sebuah tempat. Dalam Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
  1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
  2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
  3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa Adat, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
  4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur.
Yang termasuk Caru : 
  • Eka Sata,
  • Segehan Panca / Manca Warna,
  • Panca Sata, kestabilan 5 arah mata angin
  • Panca Sanak, disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin.
    • Panca nak-madurga,
  • Ngeresigana (Resi Gana).
  • Carun Dewasa,
    • dengan dilengkapi tetandingan banten pamarisudha mala dewasa untuk menetralisir pengaruh padewasan yang buruk.
Yang termasuk Tawur: 
  • Manca Kelud, berfungsi untuk ngelinggihang dewa di parhyangan.
  • Balik Sumpah,
  • Tawur Gentuh,
  • Panca wali krama,
  • Eka Bhuwana,
  • Tri Bhuwana,
  • Eka Dasa Rudra.
  • dll
Semua beburon / hewan sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider-iderdisertai kalungan uang kepeng manut urip. Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)
  • Ayam manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
  • Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga
  • Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
  • Ayam Ijo, untuk  Bhuta Ijo
  • Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng
  • Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan
  • Angsa putih, untuk Korsika
  • Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
  • Banteng, untuk Bhuta Ijo
  • Bawi palen,untuk Mahakala
  • Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
  • Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan
  • Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
  • Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
  • Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga
  • Kambing selem, untuk Kurusya, Banaspati Raja
  • Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggah Tawang
  • Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng
  • Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
  • Manjangan, untuk Bhuta Ijo
  • Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
  • (Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)
Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban sebagai tuntunan ngebat.
  • Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh.
  • Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor.
  • Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak) Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya.
  • Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termasuk dengan aksara suci Ang – Ung – Mang.
  • Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan senjata Dewata Nawa Sanga, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.
Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan
(Lontar Sudamala)
Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis:
  • Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak berem, tuak.
  • Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  • Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.
Penempatan warna bulu hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.

Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)
Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:
  • Sweta (putih),
  • Dumbra (merah muda),
  • Rakta (merah),
  • Rajata (oranye),
  • Pita (kuning),
  • Syama (hijau),
  • Kresna (hitam),
  • Biru (abu-abu),
  • dan sarwa suwarna (campuran)
Warna-warna itu selain sebagai identitas para dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia:
  • Putih: suci;
  • Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan;
  • Merah : marah;
  • Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi;
  • Kuning: nafsu;
  • Hijau: serakah;
  • Hitam: iri-hati;
  • Abu-abu: iri-hati yang terselubung.
Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan.Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana. Dengan demikian sifat-sifat buruk asubha karma manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan)Urip Wewaran pada caru dan tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)Penggunaan urip wewaran / neptu pada caru yang dasarnya panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: :
Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Satha Pata Brahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.Penggunaan urip pada tawur pada dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan asta wara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:
  • Guru urip 8 di tenggara,
  • Rudra urip 3 di barat daya,
  • Kala urip 1 di barat laut
  • dan Sri urip 6 di timur laut.
Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha) Urip Wewaran tersebut digunakan dalam banten caru / tawur untuk antara lain jumlah :  tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll. Demikian dijelaskan dalam Dokumen Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara.
Banten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.Berkaitan dengan penggunaan binatang dalam upacara caru / tawur ini juga sesuai dengan sastra weda khususnya juga disebutkan dalam beberapa lontar seperti Siwa Purana dan Markandhya Purana. Demikianlah caru ini disebutkan dan dilaksanakan untuk keharmonisan alam semesta ini.

- Copyright © All About Bali and Culture - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -