all about bali and culture

Archive for April 2017

Atma (Hindu Bali)


Atma adalah percikan-percikan kecil dari brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) . Atma berasal dari kata an yang berarti bernafas . Setiap makhluk yang bernafas mempunyai atma , sehingga mereka dapat hidup . Jadi atma adalah hidupnya semua makhluk hidup baik itu manusia , hewan , maupun tumbuhan . Atma berasal dari tuhan atau ida sang hyang widhi wasa yang memberikan hidup kepada semua makhluk hidup di muka bumi ini . Badan kita tidak akan berfungsi bila di dalam tubuh kita tidak ada atma .
Adapun sifat-sifat atma :
  1. acchedya berarti tak terlukai senjata,
  2. adahya berarti tak terbakar oleh api,
  3. akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,
4 . acesya berarti tak terbasahkan oleh air,
5 . nitya berarti abadi,
6 . sarwagatah berarti ada di mana-mana,
7 . sathanu berarti tidak berpindah – pindah,
8 . acala berarti tidak bergerak,
9 . awyakta berarti tidak dilahirkan,
10 . achintya berarti tak terpikirkan,
11 . awikara berarti tidak berubah,
12 . sanatana berarti selalu sama.

Dasar Agama Hindu



Perlu di ketahui di dalam agama hindu ada dasar-dasar kenapa umat hindu memeluk agama hindu . Mungkin banyak yang tidak tahu bila di tanyakan dasar-dasar kenapa memeluk agama hindu . Tapi bila membicarakan tentang panca sradha pasti semua nya mengetahuin nya . Padahal dasar-dasar umat hindu memeluk agama hindu itu adalah adanya panca sradha . Nah sekarang anda sudah mengetahui nya kan ???. Kalau anda belum mengetahui nya past anda akan bertanya-tanya . Apa sih yang di maksud panca sradha itu ???. Apakah panca sradha memiliki bagian-bagiannya ???. Nah dalam artikel kali ini kita akan membahas dasar-dasar umat hindu (Panca Sradha) .
Secara etimologi panca sradha berasal dari 2 kata yaitu panca dan sradha . Panca yang berarti lima sedangkan sradha adalah keyakinan ataupun kepercayaan . Jadi dapat kita simpulkan bahwa panca sradha adalah lima keyakinan ataupun kepercayaan sebagai dasar yang di miliki oleh umat hindu untuk menjalankan kehidupan di dunia ini . Adapun bagian-bagian panca sradha itu yaitu :
  1. Percaya Adanya Brahman
  2. Percaya Adanya Atma
  3. Percaya Adanya Karma Phala
  4. Percaya Adanya Punarbhawa
  5. Percaya Adanya Moksa

Alam Semesta Menurut Hindu

Kehidupan pemeluk Hindu menyatu dengan alam, karena:
1. Filosofi: Trihita-karana (tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan): hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Bila salah satu keharmonisan itu hilang/ terganggu maka hidup manusia akan sulit/ tidak bahagia. Karena itu umat Hindu selalu berusaha menjaga keharmonisan/ keseimbangan ketiga hal itu.
3. Filosofi tentang bhuwana-agung (alam semesta) dan bhuwana-alit (tubuh manusia) yang mempunyai unsur-unsur yang sama, disebut Panca Mahabhuta (lima unsur alam semesta utama), yaitu:
NO.UNSURBHUWANA AGUNGBHUWANA ALIT
1.Pertiwitanahtulang dan daging
2.Apahair hujan, danau, sungai, lautdarah, kencing, kelenjar
3.Bayuanginparu-paru/ rongga perut
4.Tejamataharisuhu badan, sinar mata
5.Akasaangkasarambut, kuku, urat saraf, 9 buah lubang: mata (2), hidung (2), telinga (2), mulut (1), dubur (1), kelamin (1)


KESIMPULAN
  1. Tubuh manusia berasal dari alam semesta, maka jika kita mencintai tubuh kita maka logis mencintai alam semesta juga.
  2. Tuhan (Sanghyang Widhi) menciptakan tubuh manusia dari kekuatan alam. Kekuatan-Nya itu disebut sebagai: Kandapat dan Nyama Bajang.
  3. Bila roh tidak lagi memerlukan tubuh (karena meninggal dunia) maka tubuh wajib dikembalikan ke alam semesta dalam keadaan suci dan mulus, melalui upacara pembakaran mayat/ ngaben (mengembalikan unsur: pertiwi, bayu, teja, akasa).
Dengan demikian, maka 4 unsur Panca Mahabhuta kembali ke asalnya masing-masing.
Di India dan Nepal, tempat pembakaran mayat selalu berada di pinggir sungai: Gangga, Yamuna, Pasupatinath, dll. maka abunya di hanyut ke sungai sebagai kelengkapan mengembalikan panca mahabhuta ke-5, yaitu ‘apah’
Di Bali, setelah membakar mayat, maka abunya dihanyut ke laut dengan maksud:
  1. Mengembalikan unsur ‘apah’
  2. Memohon kesucian sapta gangga (tujuh sungai suci di India: gangga, sindu, (sarasvati), yamuna, godavari, narmada, kaveri, sarayu.
Oleh karena kita di Bali tidak mungkin pergi ke India untuk nganyut abu di sungai gangga, dan karena ke-tujuh sungai suci itu telah bermuara ke laut Hindia, dan laut itu menyatu di seluruh dunia, maka para Maha-Rsi di Bali sejak abad ke-6 ‘memandang’ bahwa air laut sudah mengandung unsur-unsur sapta gangga. Maka kita cukup menganyut abu ke laut di mana saja (di Bali atau di luar Bali).
Bila lokasi jauh dari laut, boleh juga nganyut ke sungai, dengan pengertian bahwa abu di sungai toh akan sampai/ bermuara pula ke laut. 

Yajna (Yadnya)

Yajna berasal dari bahasa sansekerta dari akar kata Yaj yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban.  Yajna diartikan sebagai korban suci yang tulus ikhlas. Di Indonesia penulisan yajna lazim ditulis dengan yadnya, artinya tetap sama. Yajna memiliki pengertian yang lebih luas disbanding upacara Yajna. Yajna memiliki dimensi yang luas yaitu meliputi filsafat, etika, dan ritual. Sedangkan upacara yajna dari segi wujudnya lebih menonjolkan segi ritual, meskipun didalamnya terbungkus filsafat dan etika. Yajna pada hakekatnya adalah suatu perbuatan perluasan suci yang dilandasi dengan ketulusikhlasan untuk mengabdi kepada Tuhan YME dan segala ciptaannya.
Lalu apa yang menjadi dasar kita melakukan yajna? Di dalam Atharva veda, XII.1.1 disebutkan:
“ Satyam brhad rtam ugram,
diksa tapo brahma yajnah prthivim dharayanti,
sa no bhutasya bhany asya patynyurumlokam”.
Artinya:
Kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa, dan yajna, inilah yang menegakkan bumi. Semoga bumi ini , ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang lega bagi kami.
Selain itu di dalam kitab Bhagawadgita III.10 disebutkan:
“ Saha-yajnah prajah srstva
Purovaca prajapatih,
Anena prasavisyadhvam
Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk”.
Artinya:
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan menusia melalui yajna, berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagai sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).
Dari sloka diatas dapat kita simpulkan bahwa yajna merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini. Tuha telah menciptakan manusia dengan yajna, dan dengan yajna pulalah manusia berkembang dan memelihara kehidupannya. Kesucian diri  dan keikhlasan tentunya menjadi dasar dalam beryajna.
Nah sekarang kita bahas makna dan tujuan kita melakukan yajna…
1. Sebagai pengejawantahan ajaran Veda
Sudah jelas bahwa didalam Veda banyak disebutkan tentang  yajna. Seperti sloka-sloka yang mendasari kita melakukan yajna. Jadi Yajna merupakan aplikasi dari ajaran Veda.
2. Sebagai rasa terima kasih
Kehidupan ini pada hakekatnya memiliki ketergantungan dengan yang lain. Ada 3 ketergantungan dalam hidup manusia yang membawa ikatan hutang (rna). Ketiga hutang (tri Rna ) yaitu:
  1. Dewa Rna : ketergantungan pada Tuhan yang telah menciptakan kehidupan, memelihara dan memberikan kebutuhan hidup. (dibayar dengan Dewa yajna dan Bhuta yajna).
  2. Rsi Rna : ketergantungan kepada Rsi yang telah memberikan pengetahuan Suci untuk membebaskan hidup ini dari kebodohan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir batin. (dibayar dengan Rsi yajna).
  3. Pitra Rna : Ketergantungan kepada leluhur yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan diri kita.(dibayar dengan Pitra yajna dan Manusa yajna).



Dari uraian di atas menjelaskan bahwa salah satu tujuan kita melakukan yajna adalah sebagai bentuk rasa terima kasih, baik kepada Tuhan, rsi, leluhur, sesama manusia,maupun kepada bhutakala.
3. Untuk mencapai sorga
“ tiga ikang karya amuhara swarga, lwirya tapa, yajna, kirti”. Artinya ada tiga jalan untuk mencapai sorga yaitu tapa, yajna dan kirti.(agastya parwa)
4. Untuk melepaskan diri dari ikatan karma
“ apan ikang karma kabeh kaentas krta tekapaning yajna niyatannya”. Artinya segala karma itu akan dapat dibebaskan dengan pelaksanaan yajna yang sesungguhnya.( bhisma parwa)
5. Untuk mencapai kebebasan
Dalam Bhagawadgita IV.31 disebutkan  mereka yang makan sisa persembahan, sebagai amrta , mencapai Brahman yang kekal abadi, dunia ini bukan bagi yang tidak beryajna, apa pula dunia yang lain, wahai Arjuna.
Selanjutnya kita akan membahas tentang macam” panca yajna…
1. Menurut Manawadharmasastra III.73
– Ahuta : mengucapkan doa-doa suci weda
– Huta : persembahan dengan api homa
– Prahuta : upacara bali / bhuta yajna
– Brahma huta : menghormati para brahmana
– Prasita : persembahan tarpana pada para pitara
2. Menurut Bhagawadgita IV.28
– Drweya yajna : berdana punia dengan harta
– Tapa yajna : mengendalikan indriya
– Yoga yajna : melakukan astangga yoga
– Swadyaya Yajna: mengendalikan diri belajar sendiri pada Tuhan
– Jnana yajna : beryajna dengan ilmu pengetahuan
Nah panca yajna yang kenal pada umumnya bersumber dari Agastya parwa yaitu: dewa yajna, rsi yajna, pitra yajna, manusa yajna dan bhuta yajna, yang ini ga perlu dijelaskan pasti udah tau semua…
Sebagai penutup kita bahas tentang kualitas Yajna menurut Bhagawadgita tepatnya pada Adhyaya XVII sloka 11,12,13…
1. Satvika yajna
“ yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika”.
Yajna yang satvika meliputi :
–          Sradha : dengan keyakinan
–          Lascarya : tulus ikhlas
–          Sastra : berpedoman pada sastra Veda
–          Daksina : sesari ( tanpa daksina ibarat api tanpa panas )
–          Mantra gita : weda, genta, kidung
–          Anasewa  : jamuan
–          Nasmita : tidak untuk pamer
2. Rajasika yajna
“ tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah wahai Arjuna, yajna itu bersifat rajas”. Yajna yang bersifat rajas merupakan yajna yang dilakukan dengan penuh pengharapan akan hasilnya, untuk pamer dll.
3. Tamasika yajna
“ dikatakan bahwa yajna yang dilakukan tanpa aturan(bertentangan) dimana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas”. Yajna yang tamasika dilakukan dengan cara yang tidak baik, tidak ikhlas, asal-asalan, tidak mengikuti petunjuk sastra, tanpa mantra, tanpa daksina.

Makna Tingkatan Dalam Upacara Mawinten

Mewinten atau Pewintenan adalah Upacara Yadnya yang bertujuan untuk pembersihan diri secara lahir dan batin. Kata Mawinten sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna “bersinar” dan “kemilau”. Dan bila diuraikan Mawinten memiliki pengertian sifat yang mulia, yang bersinar dan berkilauan yang mengindikasikan bahwa orang yang melaksanakan upacara ini secara lahir dan bathin akan disucikan, berkilauan dan bersinar bagaikan permata yang juga bisa bermanfaat bagi kehidupan banyak orang.
 Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.
Tingkatan Upacara Mawinten
Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan menjalankannya :
  1. Mawinten dengan ayaban pawintenan saraswati sederhana adalah upacara pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, yang melaksankannya pawintenan ini, yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.
  2. Mawinten dengan banten ayaban bebangkit upacara medium adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana yang berfungsi sebagai pelindung manusia, yang melaksankannya pawintenan ini para tukang, sangging, tukang banten, dll.
  3. Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang melaksanakannya pawintenan ini para sulinggih : pemangku, dalang, pendeta, dll.

Pada umumnya pelaksanakan upacara Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan Piodalan di Pura yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur.
 
Tempat Upacara Mawinten
Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mewinten untuk Pemangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di
Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan.
Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta (sulinggih). Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi. 

Makna Hari Raya Kuningan

Menurut Babad Bali, hari raya Kuningan merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok, sehingga pada hari itu dibuat, nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa
  • Bahan-bahan sandang
  • Pangan
yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.
Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Hari raya kuningan jatuh pada hari sabtu (Saniscara) Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan) atau 10 hari setelah hari raya Galungan.
Dalam merayakan Kuningan, Ida Bagus Gede Agastia yang ditulis pada artikel “Sampian Tamiang” dalam Kuningan di halaman Hindu-Indonesia.com mengatakan, bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning.
Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit. Memang, pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu tersebut.
Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata). Panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran.
Kata kunci dalam Kuningan adalah
  • Suddha jnana, atau
  • Kesucian pikiran.
Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor alias diselimuti kebingungan.
Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang disebut dasa indria yang pada intinya Hari Raya Kuningan ini memuja Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan.
Selain panah, dalam Kuningan dipasang endongan yang merupakan simbol perbekalan (logistik) dalam perang. Sementara dalam konteks keberagamaan, endongan itu bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah ia berupa ?,
  • Subha karma (perbuatan baik), atau
  • Asubha karma (perbuatan buruk). Jadi, hanya karma diri sendirilah sebagai bekal utama untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya.
Adapun beberapa jenis sampian yang digunakan pada Hari Raya Kuningan :
  • Endongan (simbol kebijaksanaan, etika dan peraturan dalam satu wadah) sebagai persembahan kepada Hyang Widhi.
  • Tamiang sebagai simbol penolak malabahaya.
  • Kolem/Pidpid sebagai simbol linggih hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.


Dan sehari sebelum hari raya kuningan seperti dijelaskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah Hari Penampahan Kuningan yang jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga Loka (Dewa mur mwah maring Swarga).
Sehari setelah Hari Raya Kuningan (Manis Kuningan), bahkan menjelang Hari Raya Kuningan yang dikutip dari artikel penyon jegu, di desa lain sudah menyelenggarakan suatu tradisi malelawang (mala=letuh, lawang=pintu masuk pekarangan) dengan perwujudan barong bangkung yang di dominasi anak-anak disamping untuk meramaikan suasana hari raya. 

Mekanisme Pernikahan Hindu dengan Non-Hindu di Bali



Bersama makin sebanyak pendatang yang masuk ke Bali, asimilasi antar suku dan agama di pulau ini kian tidak jarang berlangsung. Makin tidak sedikit serta penganut Hindu di Bali yang mendapat istri/suami Non-Hindu. Gimana mekanisme menikah bersama orang Non-Hindu yang bakal ikut suami/istri masuk Hindu?
Hingga sekarang, pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama Republik Indonesia tidak mensahkan pernikahan beda agama, contohnya : mempelai cowok beragama Hindu sementara mempelai wanitanya Non-Hindu.
Tidak sah dalam pengertian, tak mendapatkan akte perkawinan. Seandainya tak punyai akte perkawinan sehingga nanti bila miliki putra/putri, pun tak ingin dapat mendapat akte kelahiran yang dibutuhkan buat beberapa perihal, contohnya : daftar sekolah, masuk asuransi, dlsb. Itu sebabnya pernikahan yang sah dengan cara administratif, mutlak.
Biar pernikahan bersama orang Non-Hindu jadi sah dan mendapat akte perkawinan, factor perdana yang wajib dilakukan calon mempelai Non-Hindu merupakan menjalankan prosesi upacara Suddhi Wadani (baca : sudi wadani), umumnya dengan dibantu oleh calon mempelai yang telah beragama Hindu.
Sedikit berkenaan Suddhi Wadani. Upacara ini merupakan prosesi khusus yg wajib dilaksanakan oleh satu orang Non-Hindu yang mau jadi penganut Hindu. Upacara Suddhi Wadani sendiri sesungguhnya bukan mekanisme administratif belaka, melainkan pun bermakna juga sebagai fasilitas penyucian diri dan opini spiritual bahwa yang bersangkutan siap laksanakan semua falsafah agama Hindu.
Maka Suddhi Wadani tak saja dilakukan lantaran satu buah proses pernikahan, melainkan lantaran argumen apapun yang menciptakan seseorang memutuskan buat masuk Hindu.
Ini dirinya mekanisme adminsistratif yang mesti diikuti untuk melangsungkan Suddhi Wadani :
1. Untuk Surat Opini masuk Hindu atas basic keinginan sendiri/tanpa ada paksaan dari siapapun (bermaterai Rupiah. 6.000,-).
2. Perlihatkan surat opini tersebut utk meminta blangko Sudi Wadani pada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) setempat.
3. Jalankan upacara Sudi Wadani di area rohaniawan (baik Sulinggih atau Pemangku/Pinandita).
4. Blangko Sudi Wadani dari PHDI setelah itu ditandatangani oleh orang yang bersangkutan, PHDI (yang merupakan saksi) dan rohaniawan yang muput upacara.
5. Sesudah blangko selesai diisi dan ditandatangani sehingga tinggal menunggu sertifikat Sudi Wadani yang dapat dikeluarkan oleh PHDI setempat.
6. Sesudah sertifikat ini ke luar sehingga pemohon yang tadinya Non-Hindu, sekarang ini telah sahjadi Hindu.
(Sumber : Kantor Departemen Agama Kota Denpasar)
Buat lebih menurutnya, berkaitan mekanisme Suddhi Wadani, bisa tanya serta-merta ke PHDI setempat. Bagi yang tinggal di Denpasar, dapat pula ke Kantor Departemen Agama Kota Denpasar, Jl. Gatot Subroto VIJ, Lumintang, Denpasar.
Sesudah sah jadi penganut Hindu, sehingga siap utk melangsungkan upakara perkawianan dan pendaftaran di Catatan Sipil (Departemen Kependudukan) guna mendapatkan akte perkawinan,yang semoga telah tak ada gangguan lagi, setidaknya dengan cara administratif.
Jauh lebih mutlak dari sekedar mengikuti mekanisme adminisitratif seperti diatas merupakan sungguh-sungguh menjalankan falsafah Hindu yg dengan cara sederhana sanggup dibagi jadi 3 kerangka basic, sbb :
1. Menjalankan Tattwa, yakni melakoni hidup bersama mengikuti prinsip-prinsip yang ada dalam aliran Hindu;
2. Menjalankan Susila, merupakan menunjukan pola pikir, kata kata & tingkah laku beretika, tepat bersama adat Hindu;
3. Menjalankan Upacara, ialah laksanakan puja, upacara dan upakara yang dalam Hindu dinamakan ‘Yadnya’ cocok bersama tatacara Hindu.
Ini sanggup dilakukan entah secara menuntut ilmu dengan cara kusus dgn seseorang guru agama atau bersama keluarga yang dimasuki yang pastinya beragama Hindu, contohnya : mertua, ipar, sanak-saudara, kerabat, bahkan tetangga yang beragama Hindu. Yang paling ideal, pastinya dituntun oleh suami/istri yang tentunya beragama Hindu.
Tak saja aset buat diri-sendiri (juga sebagai penganut Hindu), melainkan pula yang merupakan modal utk membina putra-putri yang dapat dilahirkan nanti, supaya mejadi anak-anak yang “Suputra” (jadi penyebar kedamaian, sekaligus penerang di dalam keluarga, lingkungan, dan penduduk luas.)

Mebanten Saiban/Ngejot



Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :
YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT
Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.
Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.
Sarana Banten Saiban
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.
Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.
Tempat Menghaturkan Saiban
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:
Pertiwi(tanah) : biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.
Apah(Air) : ditempatkan pada sumur atau tempat air.
Teja(Api) : ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
Bayu : ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
Akasa : ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).
Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.
Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Doa-doa dalam Yadnya Sesa (Doa Mesaiban)
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.
Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. 

Padmasana


Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.
Secara etimologi Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.
Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi (Tuhan) karena memenuhi unsur-unsur:
1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan horizontal: Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa (agrasana/puncak).
3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana (pemujaan Matahari).
Padmasana adalah Niyasa Stana Hyang Widhi
Pelinggih Padmasana adalah niyasa atau symbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutan:
Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat/ dirasakan manusia sebagai matahari atau “Surya”
Sanghyang Tri Purusa, dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
Memperhatikan makna niyasa seperti di atas, jelaslah bahwa Padmasana adalah niyasa yang digunakan oleh Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah Pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.
Hiasan Padmasana
Hiasan Padmasana adalah:
1. Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah symbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah symbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih; “wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti symbol lain yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka symbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.
2. Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah symbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.
3. Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah symbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
4. Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah symbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.
5. Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai symbol keaneka ragaman alam semesta.
Kesimpulan arti symbolis dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.
Bentuk-bentuk Padmasana
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana yaitu:
1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.
2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa.
4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa.
5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan).
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
Letak Padmasana
Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
No    Nama    Letak di    Menghadap ke
1    Padma Kencana    timur (purwa)    barat (pascima)
2    Padmasana    selatan (daksina)    utara (uttara)
3    Padmasari    barat (pascima)    timur (purwa)
4    Padma lingga    utara (uttara)    selatan (daksina)
5    Padma asta sedhana    tenggara (agneya)    barat laut (wayabya)
6    Padma noja    barat daya (nairity)    timur laut (airsaniya)
7    Padma karo    barat laut (wayabya)    tenggara (agneya)
8    Padma saji    timur laut (airsanya)    barat daya (nairity)
9    Padma kurung    tengah-tengah Pura (madya)    pintu keluar/ masuk (pemedal)
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”. Filsafat hulu – teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian “menganggap” Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan gambar symbol Acintya. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan kehidupan “sekala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai “utama mandala”, bagian yang kurang sakral disebut sebagai “madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai “nista mandala”. Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.
Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana. Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari. Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.
Memilih Lokasi
Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya yang permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar Keputusan Sanghyang Anala, lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana, aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan perumahan.
Lokasi yang Baik yaitu:
1. Lebih tinggi di Barat (dari arah pusat kota atau dari arah jalan raya). Disebut “manemu labha” di mana sinar matahari tidak terhalang sejak pagi sampai sore, membawa keberuntungan dan umur panjang.
2. Lebih tinggi di arah laut, disebut “paribhoga wredhi”, membawa kemakmuran yang melimpah bagi penghuninya.
3. Rata (dengan jalan atau pusat kota) disebut “madya” tidak ada keistimewaan artinya biasa-biasa saja, namun dengan syarat: sinar matahari, udara dan air tersedia cukup tidak terhalang apapun.
4. Ketika berada di atas tanah itu perasaan damai, tentram dan hening, walaupun lokasi itu tidak memenuhi persyaratan seperti nomor 1,2,3 di atas, disebut “dewa ngukuhi”, membawa ketentraman bathin dan kedamaian.
5. Tanah berbau pedis ketika dicongkel sedalam 30 Cm, disebut “sihing kanti” sangat baik karena akan mempunyai banyak sahabat.

Naga Taksaka






Naga Taksaka (Kaang) adalah naga bersayap sebagai simbol angkasa atau melambangkan atmosfer bumi sebagaimana digambarkan pada singgasana padmasana yang berbentuk menyerupai kursi dan dengan keindahan seni rupa, Naga Taksaka (yang bersayap) itu dilukiskan dengan dua ekor Naga Taksaka yang disebutkan dalam kutipan artikel Parisada Hindu Dharma pada Konsep Pemujaan dalam Padmasana.
Naga Taksaka dengan sayapnya, dalam kisahnya tatkala jaman bahari di nusa bali, rah 1 tanggek 1 caka 11 dalam babad pasek diceritakan Beliaulah yang ikut menyelamatkan Bali dengan menerbangkan sebagian gunung mahameru untuk diturunkan di Bali.
Dalam Catur Eswarya Dala sebagaimana disebutkan Hyang Naga Taksaka bersama Ida Bhatara Sambhu berstana di Pura Pengubengan, yang juga dijelaskan dalam Lontar Prekempa Gunung Agung sebagaimana disebutkan
babad bali dalam artikel Pura Gua Lawah
, Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka sebagai Bhatara Tengahing Segara.
Sehingga dalam upacara yadnya, selain Naga Taksaka sebagai simbol penguasa alam atas yang biasanya digambarkan dalam umbul-umbul, Naga Taksaka juga disimbolkan dalam sebuah daksina sebagai simbolis penghubung antara Jiwatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya pralina manusia itu sendiri.
Demikianlah disebutkan Naga Taksaka dalam simbol dan kisahnya pada sebuah babad sebagai salah satu daftar pustaka sejarah. |

Kisah Cinta Jayaprana dan Layonsari



Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di daerah utara pulau Bali. Kerajaan itu bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua orang laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan itu terkena sebuah wabah yang menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena wabah, empat anggota keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman Jayaprana.
Raja Kalianget saat itu, juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat kunjungan, Raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang pada saat itu tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan teringat dengan mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.
Setelah diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai bertarung. banyak gadis yang diam-diam memendam rasa pada Jayaprana. Melihat itu, lantas Raja memerintahkan Jayaprana memilih dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa dia masih kekanak-kanakan dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.
Namun karena Raja terus mendesak, maka Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau pada seorang gadis jelita penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis jelita itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari, Layonsari yang merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang diantara kerumunan pasar.
Setelah Layonsari menghilang dari pandangannya, Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaannya. Raja pun membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Jero Bendesa membaca isi surat Raja yang ternyata adalah surat pinangan terhadap anak gadisnya, layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati Jayaprana mendengarnya dan dia pun bergegas kembali ke Istana.
Di istana, Raja sedang mengadakan rapat di pendopo, Jayaprana menyela rapat tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada saat itu juga, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari. Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong, semuanya serba indah.
Tibalah hari hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak meminang Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Di Istana, Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada para pegawai raja dan juga para perbekel. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lantas turun dari atas kereta kuda, langsung menyembah kehadapan Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari hingga tak mampu berkata-kata.
Raja telah sekian lama menduda, diam-diam tumbuh benih cinta di hati Raja pada Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari membutakan akal sehat Raja yang sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun memikirkan stategi untuk membunuh Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari. Strategi itu disampaikan Raja kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati Sawung Galing sebenarnya menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja berkata bahwa bila dia tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati karena sedih. Sebagai abdi setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak Raja. Skenario untuk membunuh Jayaprana adalah Raja menitahkan agar Jayaprana bersama rombongan pergi ke Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulon.
Pada hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan kerajaan ke rumah Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana menghadap Raja secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja menceritakan bahwa di perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai skenario, Jayaprana diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung Galing ke perbatasan istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.
Sepulangnya dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja. Malam harinya Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari mimpinya dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk, tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan istrinya, Jayaprana berkata bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Teluktrima, meninggalkan istrinya yang sedang sedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasa ada yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan Teluktrima dengan galaunya patih Sawung Galing menyerang Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih sakti dari patih Sawung Galing hingga tidak mampu mengalahkan Jayaprana. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Sawung Galing, mengapa patih ingin membunuhnya. Patih Sawung Galing menyerahkan sepucuk surat dari Raja kepada Jayaprana yang isinya:
Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau
Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja
Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.
Jayaprana menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata “Lakukanlah patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan hamba, kini Beliau pula yang ingin mencabut nyawa hamba”. Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan keris sakti miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.
Setelah menerima keris itu, dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan berat hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi semerbak. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang hutan menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.
Kabar tewasnya Jayaprana pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja segera menghampiri Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka dan sekaligus lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada kabar meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.
Rakyat sekitar membawa jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan patih Sawung Galing yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta ditempatkan dilokasi tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.
Lantas bagaimana nasib sang Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya dengan sebilah keris dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata serta mengamuk membunuh semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya. Setelah mati pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah, setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.
Pengikut setia Raja, tidak percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka lalu mengamuk membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak terima dan serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan.lagi perang saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari Kerajaan Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia. Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara hingga akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa Kalianget hingga kini.
Cerita ini melekat di sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari generasi ke generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben di Desa Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia

Mengenal Jenis Leak di Bali



Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong( yang merupakan simbol kekuatan baik).
Menurut etimologinya, kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda.

RANGDA = JANDA

Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu:
  • Waisya,
  • Ksatria,
  • Brahmana,
Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu dan kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda.
Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang ‘aeng’ (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa). Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak). Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.
Diceritakan bahwa kemungkinan besar Rangda berasal dari ratu Mahendradatta yang hidup dipulau Jawa pada abad yang ke-11. Ia diasingkan oleh raja Dharmodayana karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja tersebut. Menurut legenda ia membalas dendam dengan membunuh setengah kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya serta milik putra Dharmodayana,Erlangga. Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Nama Rangda berarti juga janda.
Rangda sangatlah penting bagi mitologi Bali. Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga sering ditampilkan dalam sendratari. Sendratari ini sangatlah populer dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku-kuku panjang, lidah yang menjulur panjang, dan payudara yang panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki taring-taring yang panjang dan tajam.

Jenis-jenis Rangda

Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di Bali amat sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama. Memang dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung, Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya lebih banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan wujud Rangda adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :
  • Nyinga
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan sedikit menonjol ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.
  • Nyeleme
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia dan sedikit melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat yang berwibawa dan angker.
  • Raksasa
Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa seperti yang umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini menyeramkan.

- Copyright © All About Bali and Culture - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -