all about bali and culture

Archive for March 2017

Mengenal Leak Lebih Dalam




Asal usul ilmu pengeleakan bisa dirujuk dalam sebuah ritual bathin yang disebut tapa. Tapa identik dengan api, kekuatan. Apakah kekuatan itu untuk membakar ego guna perolehan keinsyafan diri atau sebaliknya untuk mengumbar ego membakar subyek yang amat dibenci. Sekali lagi, tapa adalah api atau energi berhawa panas. Mereka yang menyimpan (mengekang) nafsu atau emosi negatifnya sedemikian rupa, apabila “diledakkan” dengan cara tertentu dapat menimbulkan api tapas , meski dalam alur yang menyimpang.
Bertolak dari prinsip ini, Calon Arang (Randa Dirah) tokoh sentral dalam jagat perleakan Bali diyakini telah melakukan praktek “tapa kebencian” dan menyalurkan hasil tapanya itu secara ghaib menjadi apa yang disebut LEAK. Kemampuan Calon Arang mengekang kebencian dan dendamnya (tapa) melahirkan api (energi panas). Inilah sebabnya Ilmu Leak versi Calon Arang dasar perwujudannya tampak sebagai api (ngendih). Dan tentu saja, api leak semacam itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka yang juga memiliki api sejenis dari tipe dan kualitas yang lebih baik yakni api spiritual. Sebab itu, Mpu Bharadah, Mpu Bahula atau Raja Airlangga (Mpu Jatayu) yang mewakili kekuatan “api spiritual” tidak mempan oleh serangan kebencian yang terpancar dari api tapas Rondo Dirah. Ini pulalah makna keputusan Bhatari Durga yang mengijinkan Walu Nateng Dirah menebar kekuatan pedestian-nya hanya berlaku untuk masyarakat “pinggiran” saja, tidak dapat memasuki “ibukota kerajaan” yang dipimpin Airlangga. Pinggiran disini maksudnya adalah mereka yang berpandangan “keluar” (duniawi) melekat kepada kesenangan material; cinta akan tahta, keserakahan dan sejenisnya. Sedangkan ibukota kerajaan menyimbolkan mereka yang berpandangan “kedalam”, yakni para penekun jalan keinsyafan diri atau para penapak jalan spiritual. Bagaimanapun juga, api tapa spiritual jauh lebih cemerlang dari api tapa kebencian. Dewi Durga (Bhairavi) adalah manifestasi illahi yang merupakan sumber kedua jenis api tapa itu.
“Semasih ada rasa tertindas yang melahirkan kebencian dan dendam, semasih ada nafsu birahi yang menggebu dan menuntut pemuasan dan semasih ada kemarahan terpendam yang menuntut pembalasan, jika semua itu cukup untuk melahirkan penghancuran, maka apa yang disebut LEAK pasti tetap eksis”
Calon Arang hanyalah subyek pencetus yang mewakili rasa ketidak puasan yang super lengkap semacam itu. Ia adalah Ratu Permaisuri yang sedang berkuasa tapi ia dibuang seperti sampah hingga terlunta ke tepi pengasingan. Ia harus puas sebagai mantan ratu menerima predikat janda (rondo) yang memalukan. Anak satu satunya,yang seharusnya menjadi ahli waris tahta kerajaan adalah seorang wanita bernama Ratna Mengali,pun ikut dicampakkan. Masyarakat kala itu menghukumnya dengan tidak menunjukkan rasa emphati kepada mereka. Disaat usia Ratna Mengali sudah cukup untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang layak, tak seorangpun pria mau mendekatinya apalagi melamarnya. Bisa dibayangkan seorang Ibu yang sedang sebatang kara yang menyayangi anak tunggalnya menerima perlakuan semacam itu,terlebih ia mantan permaisuri Raja Dirah. Siang malam ia memendam api kebenciannya kepada semua orang. Itulah tapa hebat yang dilakukan Rondo Dirah.
Maka ia sampai ke Durgaloka yakni Pura Dalem (inner power, konsentrasi api energi dalam tubuh) dan melupakan segalanya. Tujuannya hanya satu; balas dendam melampiaskan kebencian yang tak terbendung lagi. Kebencian yang mendalam dari Calon Arang ini juga layak disebut tapa dan karena itu, Dewi Durga yakni api kesadaran bathin yang dahsyat (cid-aghni, api tapas) berkenan memberikan anugerah-Nya. Karena api itu lahir dari motif kebencian, tidak ayal lagi kualitas api yang diterimanya agak rusak (ugig) dan akhirnya, terbukti memang merusak. Api semacam itu (ditambah sedikit “bumbu” dari ajaran tantrik) merupakan bahan baku (raw material) proses menebar petaka dalam kehidupan yang disebut desti, teluh dan teranjana. Teknik pengolahan api tapa “jalur kiri” seperti versi Rondo Dirah itu banyak dibahas dalam ajaran tantra wamamarga. Salah satu contohnya adalah pewisik yang diterima Calon Arang agar berhasil merubah wujud (malin rupa) seperti berikut :
Iki tingkahe mangda dadi binarupa,katon dening wong sabumi;
iki pradatanya,away hima hima ring payogan.
Sane metu ring sarira gnahnya mider bwana,lwirnya :
Papusuwan ngaran purwa,ika dadi lembu
Peparu dadi singa,kelod kangin
Atine dadi barong,kelod unggwanya
Usus agung dadi warak,kelod kawuh unggwanya
Ungsilane dadi nagha pasa,kawuh unggwanya
Amprune dadi raksasa,kaja unggwanya
Jajaringane dadi garuda kaja kangin unggwanya
Tumpukan papuswane dadi kala mretyu,ring madya unggwanya
Sayangnya, sebagian orang selalu “memojokkan” Randa Dirah sebagai biang kerok Aji Ugig (leak), sementara banyak orang tanpa sadar juga sedang melakukan praktek tapa sejenis seperti yang dilakukan Randa Dirah. Dijaman Kali ini banyak orang mengaku takut terhadap leak meskipun dia sesungguhnya adalah juga pengikut Calon Arang. Mereka “diam diam” pergi ke pura atau tempat tempat keramat, petilasan, makam “mbah sakti” dan sebagainya, bukan untuk menyembah Hyang (memuja,memuliakan dan bersyukur kehadapan Hyang Widhi) melainkan untuk mendoakan (baca; meminta) agar jabatannya langgeng (baca; orang lain tidak perlu naik pangkat),agar usahanya laris dan maju (baca; agar orang yang melakukan usaha sejenis bangkrut). Jika hal hal semacam itu mereka pikirkan terus menerus sampai tidak bisa tidur,tak ayal lagi mereka adalah pengikut setia Calon Arang alias “leak leak berdasi” (baca : leak matah). Jadi kenapa harus takut dan memojokkan Randa Dirah dan leaknya? 

Sejarah Melasti

Sehubungan dengan tibanya Hari Raya Nyepi pada tanggal 21 Maret 2015 ini yang dirayakan oleh seluruh umat Hindu Dharma di Bali dan Indonesia, maka kali ini saya akan sedikit menulis tentang rangkaian upacara pada Hari Raya Nyepi, yakni Upacara Melasti atau Mekiyis.
Melasti
Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka
Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur” berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas.
Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi keseimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka.
Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif.
Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.
Pelaksanaan Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: “….manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata
Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.
Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Sejarah Agama Hindu



Asal-usul Agama Hindu di dunia dimulai dari masuknya Bangsa Arya ke India sejak 1500 SM. Masuknya Bangsa Arya ke India membawa perubahan yang sangat besar dalam tata kehidupan masyarakat India. Perubahan tersebut terjadi karena Bangsa Arya mengadakan integrasi kebudayaan dengan Bangsa Dravida dan selanjutnya integrasi ini melahirkan agama Hindu.
Asal-usul Agama Hindu Bangsa Arya mulai menulis kitab-kitab suci Weda. Kitab suci ini dituliskan dalam 4 bagian seperti Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Peradaban dan kehidupan bangsa Hindu jelas terdapat juga dalam kitab Brahmana atau dalam kitab Upanisad. Ketiga kitab inilah yang menjadi dasar pemikiran dan dasar kehidupan orang-orang Hindu. Asal-usul agama Hindu ditindaklanjuti dengan adanya perubahan corak kehidupan di India. Corak kehidupan masyarakat Hindu tersebut dibedakan atas 4 kasta, diantaranya:
  1. Kasta Brahmana: Keagamaan.
  2. Kasta Ksatria: Pemerintahan.
  3. Kasta Wacyd (Waisya): Pertanian dan perdagangan.
  4. Kasta Cudra (Sudra): Kaum pekerja kasar.
Kepercayaan Bangsa Hindu bersifat politeisme (memuja banyak dewa). Di dalam pemujaan terhadap dewa itu sering dibuatkan patung-patung yang disesuaikan dengan peranan dewa tersebut di dalam kehidupan manusia. Patung-patung itu merupakan simbol dari dewa-dewa yang disembahnya seperti misalnya Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Dewa Pelindung, dan Dewa Siwa sebagai Dewa Pelebur atau Pembinasa. Ketiga dewa itu diberi nama Tri Murti. Tri Murti sendiri berarti yang Maha Kuasa. Sedangkan dewa-dewa lainnya yang dipuja seperti Dewi Saraswati sebagai Dewi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan, Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan, dan lain sebagainya.
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi” ), dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”) adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis – Sidrap).


ETIMOLOGI
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.


KEYAKINAN DALAM AGAMA HINDU
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
4. Punarbhava Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia


KONSEP KETUHANAN
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.

PUSTAKA SUCI

Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
* Sruti berarti “yang didengar” atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
* Smerti berarti “yang diingat” atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
KARAKTERISTIK
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.
ENAM FILSAFAT HINDU
Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Kelompok Nastika umumnya kelompok yang lahir ketika Hindu masih berbentuk ajaran Weda dan kitab Weda belum tergenapi. Hindu baru muncul selah adanya kelompok Astika. Kedua kelompok tersebut antara Astika dan Nastika merupakan kelompok yang sangat berbeda (Nastika bukanlah Hindu)
Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) — institusi pendidikan filsafat ortodok yang memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu — yaitu: Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.
Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar, pengaruh dari masing-masing Astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra Hindu dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
KONSEP HINDU
Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna (kasta), pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana, dan lain-lain.
DEWA- DEWI HINDU
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “beResinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.
GOLONGAN MASYARAKAT
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
* Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
* Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
* Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
* Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
PELAKSANAAN RITUAL
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).
SEKTE (ALIRAN) DALAM HINDU
Jalan yang dipakai untuk menuju Tuhan (Hyang Widhi) jalurnya beragam, dan kemudian dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai Hyang Widhi. Aliran terbesar agama Hindu saat ini adalah dari golongan Sekte Waisnawa yaitu menonjolkan kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah Sekte Siwa sebagai pelebur dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu Sekte Siwa, Sekte Sakti (Durga ), dan Sekte Ganesha, serta terdapat pula Sekte Siwa Siddhanta yang merupakan aliran mayoritas yang dijalani oleh masyarakat Hindu Bali, sekte Bhairawa dan Sekte – Sekte yang lainnya. Yang ketiga ialah Sekte Brahma sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.
TOLERANSI UMAT HINDU
Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Sansekerta: एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: “Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.”
— Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagawadgita, IX:29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagawadgita, 4:11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagawadgita, 7:21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa dan “Satya Jayate Anertam”. Mereka diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Kisah Pekarangan Minta Tumbal Akibat Pepasangan



Artikel ini sudah mendapat perizinan dari sumber (jero dalang badra) dan telah disunting agar layak dipublikasikan,Kami minta maaf dan izin kepada yang punya kisah ini untuk dishare di situs ini ,semoga dengan artikel ini kita bisa mendapat informasi,pengalaman dan pengetahuan penting yang beguna bagi diri kita sendiri.
Sore menjelang malam ketika itu, datanglah seorang diri gadis dari kawasan Tabanan umur 20 an, yang saat ini sedang ada masalah dengan suaminya dan pernikahannya sudah dalam ambang batas perceraian. Sebut saja nama gadis ini Ayu, karena paras wajahnya memang ayu. Setelah masuk ke Gedong Suci, matanya sudah mulai berlinang air mata. Titiang mencoba membagi keluh kesahnya, agar sedikit terbagi” punapi niki? Napi sane bisa dibantu? “ tiang tanya.
Tanpa terasa ia menunduk, dan air matanya jatuh menyapa pertiwi. Katanya sambil menangis” Med tiang hidup Jro. Rumah tangga tiang hancur! Tiap hari ada masalah. Dan saya mengalami sakit sesak nafas tiap hari tertentu. Sudah diobati di medis tetep saja tak sembuh sembuh”. Tiang jawab” ngih…coba saja kita ronsen niskala. Semoga saja itu hanya sesak biasa saja, mungkin karena dingin atau karena mah, atau mungkin jantung. Kalau memang hanya medis murni biar bisa ditangani konsen di medis. Tpi kalau komplikasi medis dan non medis memang sangat sulit sembuh”.
Tidak panjang kata, tiang nedunan Taru Windu Sakti, Bukti Saksi Penyakit Niskala, sebagai Ronsen Niskala, setalah ngaturan pejati sebagai kesungguhan baktinya Ayu. Ronsen Niskala dengan Taru Windu Sakti, Orang yang kena guna guna, acep acepan, sesawangan akan kesakitan, orang yang kena cetik akan langsung muntah, orang yang kena pepasangan akan terasa panas, dan orang kemasukan jin, setan, bebai, wong samar, dll, pasti akan langsung keluar berkomonikasi, jika pica ini ditaruh ditanggannya.
Ini akan dibuktikan langsung oleh yang sakit atau keluarganya, bukan katanya, hanya karena pikiran, kleteg bayu, ilmu kebatinan dll. Namun jika tidak ada respon, berarti orang itu murni sakitnya medis, tidak ada gangguan mezik, walau datang dengan keadaan separah apapun.
Dengan sangat pelan titiang taruh Taru Windu Sakti ditangganya. Kemudian muka Ayu semakin memerah dan pandangannya jauh, tiang sudah merasa ini bukan ayu lagi. Lalu dia ketawa layaknya setan saja” hhiiiii…haaa……De Jro Turut Campur! Dleme ene harus mati! Tiang tusing nyak meurusan ajak Jro!”
“ Wah…berani juga penyakit ini” pikir tiang dalam hati. Lalu tiang tanya” sira niki? Saking napi?” Dia malah membentak” Suba orin tiang de Jro turut campur! Tiang tusing lakar nyak ngaku! !
Berani juga ini penyakit, dia belum pernah terbakar api niskala dari 16 Sesuwunan yang melinggih di Gedong Suci Usadha Agung Bali Niskala. Mendengar semua itu, titiang tidak tinggal diam, penyakit ini harus dibantai!. Kemudian gedong Suci disengker d agar tidak kabur ini penyakit. Kemudian geni ngelayang, telah diaktifkan…disemua pojok dan telah menyala dengan panasnya.
Ayu sudah mulai kepanasan” aaaaa…..kebussss……………..jroooo………………….dadi panes kene dini!”
Melihat dia sudah mulai lemah, dengan cepat kilat..tiang tembak perutnya dengan api niskala” Ne..rasaaang….api di basange! Iaaaaaaaaa………………!” !!!
“Aaaaakkk………………kebusssss…………….kebussss………………………kebus jro! Dia sudah mulai kesakitan.
Lalu tiang serang lagi lehernya ” iaaaaaaaaaaaaaaaaa……………………………….” . “Aaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkk……………ueeekkkkk…ueeeeeeeeeeekkkkkkkk” di sakit dan muntah muntah. Lalu tiang serang lagi ubun2nya ” Ne rasaaang……………………..iaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…..! “addduhhhhh….aaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk………..ampuuuunnn….ampuuunn…jro! amppun” dia telah menyerah.
Tiang tanya” nyen ene? Uli pidan nyakitin?” Katanya” tiang sampun sue ngoyong dini ditangkahne! Uli sekat ia mara nganten. Sesek niki tiang sampun sane ngawinan. Tiang tusing demen ia nganten di jumah tiange. Pokokne Ayu harus mati. Ia meuyutan ngajak kurenane tiang masi sane ngaenan apang ia inguh, tur bunuh diri”. Tiang ancam!” jani pesu Uli dini Nah. Tiang tanggug jawab apang ia seger. Buin minggu buin tiang cek! Awas buin mecelep! Tiang lakar siksa dini!”
Katanya “ Ngihh…Jro..tiang pamit” Roh itu langsung keluar dari tubuh Ayu dan ia jatuh pingsan. Setelah ia sadar, tiang tanya! “ ada niat bunuh diri?” Jawabnya” Ngih…jro..jeg inguh hatin tiang. Jumah tiang sampun 2 orang mati bunuh diri, setelah meluasan dumun, ada baos 3 orang harus jadi tumbal dirumah , dan tiang yang ketiga. Mohon bantunnya Jro, tiang belum siap mati”.
Tiang jawab “Ngih kita berdoa sama2, tiang juga sama manusia biasa seperti Ayu, tak tau kapan juga akan mati. Mari kita berdoa sama sama agar diberikan umur panjang”. Kemudian Ayu pulang dengan rasa takut dan gundah dihatikan, karena beban yang berat di hatinya. Semoga Tuhan Memberi jalan terang dan kebahagian.
CIRI CIRI RUMAH KENA PEPASANGAN
1. Sering ada pertengkaran tanpa ujung pangkal
2. sering ada suara dongkang menjelang kajang kliwon
3. rumah terasa angker
4. ada yang sakit silih berganti
5. penghuninya malas sembahyang dan beraktifitas
6. tidak betah tinggal dirumah


Misteri Goa Jepang di Klungkung




Berikut adalah kisah misteri yang dikutip dari blog balinata, kisah ini diceritakan pada acara tv Mr Tukul Jalan-Jalan  yang sempat terkenla akan penelusuan tempat- tempat bermisteri di Indonesia. Berikut kisahnya :
Sebagaimana daerah Bali yang lain, Klungkung juga memiliki sejuta pesona tempat wisata. Meski luas wilayahnya tak seluas daerah lain di Bali, hanya mencapai 315 Km², namun keindahan wisatanya tak kalah dengan daerah yang lain. Salah satu tujuan wisata di daerah yang berbatasan dengan kabupaten Karangsem dan Gianyar ini adalah Goa Jepang. Goa ini merupakan salah satu tempat pertahanan Jepang kala menjajah Indonesia. Goa jepang ini dibangun oleh masyarakat bali dengan kerja paksa dari jepang (kerja rodi) ,sehingga tidaklah heran banyaknya warga bali yg meninggal akibat kekerasan dan terkena wabah penyakit yg menyerang saat itu.
Hal itu menyebabkan banyaknya mahluk-mahluk astral yg bergentayangan di sekitar gua,bahkan konon ceritanya penghuni goa ini menyebabkan seringnya kecelakaan di tempat itu. Yang paling sering adalah saat tengah melintas di jalan denpasar-kelungkung ini sering melihat orang yang tiba-tiba lewat dengan tubuh yg tak masuk akal (contoh: Setengah binatang setengah hewan) sehingga si pengendara motor yang sedang melintas di tikungan depan goa ngerem mendadak dan bahkan ada yang sampai jatuh kejurang.
Saat lebih dalam memasuki gua akan tercium sedikit bau darah segar atupun busuk, hal ini sangatlah masuk akal karena pada beberapa dekade dekade yg lalu terjadi pembudakan dan pembantaian disini,tapi kematian warga-warga yg diperbudak kebanyakan mati karena longsor.Energi astral yg kuat oleh darah-darah yg hanya bisa dilihat oleh orang yg tapak nyem atau memiliki mata batin, terkadang baunya dapat dihirup oleh orang normal .
Menurut leo leomanto dalam penyelidikannya di goa gajah dalam suatu acara tv swasta , Sosok yg ditemui di tempat ini beragam ,
  • Mulai dari Potongan-potongan tubuh orang-orang yg diperbudak,mungkin akibat penykisaan dan pembunuhan ataupun longsor saat membangun goa
  • Bercak darah dimana-mana tanda pembantaian dan penyiksaan yang hanya dapat dilihat mata batin
  • Tentara Belanda yang Berjaga seolah mengawasi setiap kegiatan budaknya ,terkadang tanpa memiliki tentara
  • Beberapa wanita bali kuno yg masih menggunakan pakaian dengan selembar kain
  • Anak Kecil yg berlarian
Kesimpulan Artikel diatas tidak bertujuan menakut-nakuti tapi merupakan suatu informasi dan pengetahuan tentang misteri di goa gajah kelungkung. Tidak usah takut jika lewat disana ingatlah setiap tempat memiliki penunggu masing-masing,tetaplah ingat dengan Tuhan dan memberi salam pada tempat-tempat tertentu ,dimanapun anda lewat pasti akan selamat.
Dimanapun kita berada pasti tak luput dengan mahluk sejenis seperti diatas karena ISHWW tidak hanya menciptakan manusia tapi juga mahluk-mahluk disekitar kita baik yg berbadan kasar maupun tidak. Mahluk gaib itu memang ada tapi mereka tidak akan mengganggu kita jika kita berada di jalan yg benar dan tidak mengusik mereka,toleransi tidak hanya untuk umat beragama tapi juga dengan mahluk ciptaan tuhan yg lain seperti antara Bhuta kala dan Umat Hindu.

Lukat Geni, Tradisi Unik Dari Klungkung



Tradisi lukat Geni di Puri Satria Kawan, Banjar Satria, Dawan, Klungkung hampir mirip dengan tradisi Ter-teran di desa jasri, karangasem. Biasanya melukat atau membersihkan diri secara niskala menggunakan air, tapi kali ini menggunakan sarana geni (api).
Tradisi lukat Geni merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Banjar Satria yang bertujuan untuk melukat atau membersihkan diri. Tradisi lukat geni merupakan tradisi peperangan dengan sarana api dilaksanakan pada petang menjelang malam hari sebelum pawai arakan ogoh-ogoh.
Dengan senjata utama yaitu daun kelapa kering yang sudah dibakar lalu dipukul-pukulkan kepada lawan, yang menimbulkan percikan-percikan api sehingga para peserta terlihat seperti mandi api makin semarak dengan diiringi tabuh baleganjur.
Bagi yang menonton diharapkan untuk sedikit menjauh karena tradisi ini kadang memanas sehingga percikan api akan terbang kemana-mana. Setelah perayaan tradisi ini mereka saling tawa dan tidak ada saling dendam karena makna tradisi ini bukanlah perang untuk mencari pemenang tapi lebih kepada kebersamaan.
Keyakinan dari para peserta bahwa api tidak akan melukai atau membakar diri peserta tetapi akan membersihkan diri. Lukat Geni berasal dari kata lukat atau melukat yang memiliki makna membersikan diri dari kotoran lahir dan batin, sedangkan geni yang berarti api, sehingga ritual ini bertujuan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin dari kekotoran dengan sarana api.
Masyarakat sangat menikmati tradisi Lukat Geni ini karena meyakini tradisi ini sebagai wujud pembersihan diri yang dapat mebakar kesialan dan dilebur dalam bara api.

Sejarah Ogoh-ogoh di Bali



“Ogoh-ogoh” penamaan ogoh-ogoh diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa bali, artinya sesuatau yang di goyang-goyangkan,”ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin dese” salah satu lirik lagu wajib di hari pengerupukan satu hari sebelum perayaan nyepi.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa bertujuan agar buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif  yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh yang nantinya ogoh-ogoh akan dilebur atau dibakar.
Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama yaitu Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan bisa dirujuk untuk menelusuri asal-usul atau awal mula ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia.
Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri, karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan banyak orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat menghidupkan kreatifitas pada pemuda bali. 

Tumpek Wariga/Uduh



Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan  Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.
Peringatan hari raya Tumpek Atag tentu kita bisa rasakan betapa alam saling mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita berharap hujan akan jatuh dari bapa akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak.
Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Atag
Disebut juga Tumpek Bubuh, karena saat itu dihaturkan bubur sumsum yang terbuat dari tepung. Disebut Tumpek Pangatag, karena matra yang digunakan untuk mengupacarai tumbuhan disertai dengan prosesi ngatag, menggetok-getok batang tumbuhan yang diupacarai. Adapun banten atau sarana yang diperlukan dan dihaturkan saat Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :
  • Banten Prass.
  • Banten Nasi Tulung Sesayut.
  • Banten Tumpeng.
  • Bubur Sumsum (dibuat Tepung)
  • Banten Tumpeng Agung
  • Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
  • Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum.
Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan bubur sumsum. Lalu, “atag”, pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
“Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed”
Yang artinya:
“Kakek-kakek, nenek dimana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil lebatt-lebatt-lebattt-lebattt, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan berbuahlah dengan lebat”
Mantra tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun temurun diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Atag.  Penyebutan kaki-dadong dalam konteks ini adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan makhluk lain yang ada di permukaan Bumi. Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut diatas tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, penulis tidak mengetahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya. Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …nged…, nged, nged….! Yang berarti lebat.
Seperti diketahui, di beberapa tempat di Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah Tumpek Bubuh (mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada pula yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini jatuhnya persis 25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang menyebutnya sebagai Tumpek Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga. Sementara sebagian masyarakat lagi ada yang mengistilahkan upacara ini sebagai otonan punyan-punyanan. Dalam meteologi Hindu ada penggambaran Sang Hyang Sangkara lebih didominasi dengan tampilan yang terkesan seperti di hutan rimba. Hyang Sangkara duduk di bawah pohon beringin (pippala) yang memiliki akar gantung ribuan banyaknya serta lebat dan besar. Sedangkan di Bali, Beliau digambarkan menyatu dengan pangider Buana dengan Dewata Nawa Sanga Lainnya.
Manfaat Perayaan Tumpek Atag Bagi Kehidupan Manusia
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tampak secara signifikan. Dengan membuat sarana upakara (Banten) tersebut dengan mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat Galungan. Dengan penuh rasa syukur agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik untuk sarana upakara saat perayaan hari raya Galungan.
Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan. Kutipan monolog di atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara Sangkara selaku manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-tumbuhan agar melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya saat menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh subur, berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged). Membaca apa yang disampaikan diatas , akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru “Hari atau Bulan Menanam Pohon”.
Kita harus sadar bahwa sumber energy yang kita miliki untuk melakukan rutinitas seharian kita berasal dari alam.
Annaad bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad.Yadnyad bhavati parjany, Yadnyah karma samudbhavad.(Bhagavad Gita.III.14)
Artinya:
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.
Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali.
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagaiberikut:
  1. Makna Tumpek Atag, yaitu: Tumpek Atag merupakan peringatan Kemaha Kuasaan Hyang widhi sebagai manesfestasi Tuhan pencipta tumbuh-tumbuhan khusunya tanaman buah-buahan yaitu Sang Hyang Sangkara .
  2. Tata cara pelaksanaan Tumpek Atag, yaitu: Dipersembahkan bubur sumsum yang terbuat dari tepung, Banten Prass, Banten Nasi Tulung Sesayut, Banten Tumpeng, Bubur Sumsum (dibuat Tepung), Banten Tumpeng Agung, Ulam itik (diguling), banten penyeneng, Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum.
Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan bubur sumsum. Lalu, “atag”, pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :
 “Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed”
  1. Manfaat perayaan Tumpek Atag bagi kehidupan manusi, yaitu: Dengan membuat sarana upakara (Banten) tersebut dengan mengucapkan mantra itu, diharapkan tanaman yang berbunga akan berbunga lebat, yang berbuah akan berbuah lebat. Nantinya, buah ataupun bunga tersebut akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya saat Galungan. Masyarakat Hindu Bali yang akan merakakan hari raya Galungan yang jatuhnya pada hari rabu Wuku Dungulan yaitu 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Dengan penuh rasa syukur agar ada tanaman buah yang berbuah sehingga bisa dipetik untuk sarana upakara saat perayaan hari raya Galungan. Disebut juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh. Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.

Legenda Prabu Watugunung



Watugunung (Watu Gunung) yang disebutkan dalam wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang disebutkan dalam lontar medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali.
Watugunung adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.
Pada mulanya diceritakan,
setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia.
Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa).
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan melahirkan.
Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih.
Sang Dewi menghormat sambil berkata:
“Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”.
Demikianlah kata kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung”.
Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian gaiblah Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka.
Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat.
Heranlah kedua permaisuri itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya.
Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang luar biasa itu. Sampai-sampai merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu menuntut untuk makan.
Tersebutlah pada suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan. Ibunya berkata : ”Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak”.
Demikian kata ibunya tetapi sang Watugunung tidak menghiraukan dan melahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih panas sudah dihabiskan.
Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak sopan, ibunya menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya.
Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya saja terual makanan, merampok terutama dalam hal makanan, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya.
Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk.
Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu, akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara.
Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk membunuh Watugunung.
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut yang kesemuanya tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan.
Sang Watugunung sedikit pun tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan mengobrak-abrik yang menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja sangat marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung.
Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan itu.
Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan kerajaan Emalaya.
Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat itu.
Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk kepada Watugunung.
Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang lainnya dengan mudah dapat ditundukkan.
Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua Rajanya tunduk kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya menjadi jajahan sang Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan kepada raja-raja taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi yang belum aku tundukkan?”. Para raja pun menjawab ” Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat mengalahkannya kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja.
Demikianlah jawaban dari raja-raja yang didengar keterangannya. Dan raja Girisila membenarkan. Setelah mendengar keterangan dari para raja itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa.
Rencana ini didengar oleh kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula dengan persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai.
Sama-sama perwira sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak, korban jiwa korban harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung yang menderita kekalahan adalah di pihak Kundadwipa. Maka kedua raja perempuan itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri.
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit.
Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap Dewa Siwa. ”Haturnya yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang”.
Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini.
Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya.
Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka). Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung mengambil kedua ibunya dipakai istri (dipakai permasuri).
Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh manusia”. Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang ditujukan kepada sang Watugunung, sabda beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu kandung), mengambil ”babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”.
Semua yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh rakyat batara Yama pada alam neraka (Bhur Loka). Apabila kelak menjelma agar dalam kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”.
Demikian kutuk Sang Hyang Tri Purusa.
Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung melakukan pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas kepala sang Watugunung yang besar itu.
Saat asyiknya mencari kutu sambil menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika melipat-lipat rambut yang kurang teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu.
Maka teringatlah beliau dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putranya dengan sodo (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah putranya sendiri.
Karena kedua pasang tangan istrinya menjadi agak lemas dan percakapan kecil seketika menjadi hening. Dalam keheningan itu sang Watugunung bertanya kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda kenapa diam seketika apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda mengetahui hal itu”.
Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa sesak, akhirnya menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam karena karena kami ngerempini (ngidam)”.
Sang Watugunung balik bertanya: ”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda idamkan katakanlah! :
Kakanda yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah permaisuri beliau menjawab. “Sangat sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”.
Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya”. Sang Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh.
Sang Watugunung turun ke lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh Aribuana: Ah-ahih-ih apa maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan.
Sang Watugunung menjawab:
“Aum Batara, adapun kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Batara adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Batara izinkan”. Apa yang kau sebutkan itu memang benar” jawab Sang Hyang Wisnu.
Kalau memang benar hal tersebut sekarang permintaanku adalah, jika engkau memang mencintai diriku, saya mohon permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera” Sang Hyang Wisnu segera menjawab” “Oh permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan, senjata dan lain-lainnya”.
“Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau kamu berikan istrimu engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau”.
Sang Watugunung sangat marah. “Aum, seperti apa yang kamu katakan, kalau aku tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”.
“Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani? katakan” Bertambah-tambah marahlah sang Watugunung, kata-katanya kasar.
Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera menjawab: kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak wajar)”.
Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian pula Sang Hyang Ari, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan garangnya.
Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api berkobar-kobar menyala.
Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya.
Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Bagaikan gelombang laut yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya. Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua, apakah kiranya yang terjadi sehingga terjadi getaran – getaran yang hebat”.
Coba katakan!
Bhagawan Narada menjawab: ”Seperti apa yang batara katakan, hal itu terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang tidak wajar, tidak lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si Watugunung amat berdosa.
Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang Watugunung dikutuk oleh Batara Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.
Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra.
Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya. Berkatalah sang Watugunung: ”Ih Hyang Wisnu sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini.
Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah! Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti?
Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya meninggallah sang Watugunung.
Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung yang termuat dalam lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b.
Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara, disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan dengan jalan cerita yang agak berbeda seperti di bawah ini.
Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta permaisuri sang Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari.
Setelah surat itu di bawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang Watugunung untuk bertempur.
Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang mengakibatkan sang Watugunung menjadi marah, segera memerintahkan memukul kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga.
Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung.
Diceritakan sang Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh kedua orang permaisurinya.
Istri sang Watugunung menanyakan kejadian peperangan yang telah terjadi dan juga menanyakan hal tersebut sang Watugunung berkata: ”Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia. Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah yang dapat membunuh diriku”.
Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan Lumanglang yang sedang dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung.
Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang dan sangat kuat, segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.
Saat itu adalah Redite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). Itulah sebabnya disebut ”Watugunung mati terbunuh oleh Batara Wisnu, hari kematiannya ini dinamai ”Candung Watang”.
Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari ”paid-paidan”.
Hari Budha Pon datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh Batara Wisnu, hari itu disebut Budha Urip.
Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
Pada hari sukra Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan turunlah beliau untuk menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya disebut dengan Pangredanan.
Saat itu datanglah Batara Wisnu hendak membunuhnya kembali namun dapat dicegah oleh Bhatara Siwa, sabdanya: ”Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah untuk hari-hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Batara Wisnu, sabdanya: ”Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri”.
Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri”. Batara Wisnu pun mengutuk sang Watugunung, sabdanya: ”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh).
Jawaban sang Watugunung:
”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak kedinginan.
Permohonan sang Watugunung semua dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran itu dihidupkan kembali.

Prosesi Tipat Bantal Dalam Pernikahan



Inilah prosesi terakhir dalam pernikahan tradisional adat Bali yang menganut agama Hindu, Mejauman Ngabe Tipat Bantal. Setelah Sarira Samkara/ Makala-kalaan, kemudian diteruskan dengan Mewidhi Widhana serta upacara Majaya-jaya, Majauman merupakan rangkaian terakhir dalam tiga upacara yang dilaksanakan dalam upacara pernikahan adat Bali.
Mejauman berbeda dengan mejauman ngabe tipat bantal. Kata mejauman berasal dari kata jaum yang memiliki arti jarum. Jadi diberi nama mejauman dengan makna untuk merajut atau menyatukan kembali. Mejauman juga bisa menjadi kesempatan untuk mempererat hubungan yang retak antara keluarga pengantin pria dengan keluarga pengantin wanita. Hal ini biasanya dikarenakan pengantin pria dan wanita menikah dengan memilih jalan ngarorod.
Ngarorod dalam masyarakat Bali merupakan sistem perkawinan adat dimana calon pengantin wanita dilarikan dari rumahnya, oleh calon pengantin pria, yang oleh kita awam disebut kawin lari. Sistem ini biasanya dipilih karena pihak keluarga pengantin wanita tidak menyetujui ataupun memberi restu akan adanya pernikahan ini.
Mejauman juga memiliki makna untuk memberitahukan kepada Sang Hyang Guru dan para leluhur dari pihak pengantin wanita bahwa kedua pengantin telah sah melakukan pernikahan, serta memohon doa restu agar selalu melindungi perkawinan dan rumah tangga mereka.
Sementara itu Mejauman Ngabe Tipat Bantal adalah acara penjamuan keluarga pengantin wanita terhadap kedua pengantin baru, yang juga dihadiri oleh keluarga dari pengantin pria. Mejauman ngabe tipat bantal biasanya dilakukan beberapa hari setelah pesta pernikahan digelar.
Pada hari yang telah disepakati bersama, pengantin yang telah resmi menikah berkunjung ke kediaman keluarga pengantin wanita sambil membawa barang bawan berupa penganan khas masyarakat Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, sirih pinang, kopi, teh, gula, beras, kekupa, nagasari, serta berbagai macam buah dan lauk pauk yang juga khas Bali.
Acara mejauman ngabe tipat bantal juga terdapat upacara mejauman yang dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua, sanak saudara serta para leluhur dari keluarga pengantin wanita, mulai saat itu pengantin wanita telah resmi menjadi bagian keluarga besar pengantin pria. 

- Copyright © All About Bali and Culture - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -