all about bali and culture

Archive for February 2017

Apakah itu Nyentana??




"NYENTANA" Istilah ini hanya ada di Bali, jadi untuk beberapa kalangan istilah "Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka. Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan.
Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana.
Nah, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan).

Ada beragam alasan yang mereka utarakan, antara lain:
Khawatir dikutuk oleh leluhur mereka
Tidak ada adat di lingkungan mereka yang menganut atau mengambil jalan nyentana
Gengsi sebagai seorang lelaki dipinang ke keluarga perempuan
Malu sama masyarakat sekitar jika seorang lelaki dipinang seolah-olah tidak ada perempuan lain yang diajak nikah
Begitulah alasan-alasan yang sering terucap jika mereka tahu anak lelaki mereka bakal memilih nyentana. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki, seluruh anak mereka perempuan, apa mereka tega meninggalkan orang tua mereka untuk ikut keluarga suami mereka. Lalu siapa yang bakal meneruskan keturunan mereka, jika mereka ditinggal oleh semua anak mereka. Hal ini lah yang menjadi polemik di kalangan adat masyarakat Bali.
Ada yang menyebutkan pria yang mau nyentana adalah banci, pengecut, dan sebagainya. Ada pula yang menyebut mereka pahlawan, karena mereka mau membuang status "purusa" (status bagi lelaki jika sudah menikah) dan mengenakan status "pradana" (status bagi perempuan yang sudah menikah)
            Dahulu nyentana sangat dikecam dan dipermasalahkan oleh masyarakat. Kini seiring perkembangan jaman, jumlah laki-laki yang terlahir tidak sebanding dengan jumlah kelahiran perempuan. Alhasil, banyak keluarga yang kini mengharapkan meneruskan keturunan mereka melalui jalan nyentana.
Bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, mereka bisa memaklumi  , sebaliknya mereka yang memiliki anak lelaki hanya bisa mengecam dan tidak henti-hentinya memperguncingkan .  "Apabila kamu tidak punya keturuan laki-laki apa yang akan kamu lakukan? Apa hanya diam saja?!?"

Artikel ni dibuat bagi mereka-mereka yang masih ngotot mengecam nyentana. Jangan terlalu membanggakan dirimu yang sekarang, apa kamu yakin nanti anak cucumu bakal memiliki keturunan laki-laki??
Bagiku di mata Tuhan, kita ini sama. Tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun wanita. Hasil perbuatan mereka lah yang nantinya membedakan mereka di mata Tuhan. Semoga Tuhan membuka mata umatnya lebar-lebar

Esensi Kematian Dalam Hindu Bali



Kata “kematian”, (mati; wafat; berpulang, ngalih tanah wayah, pralina; seda; meninggal dunia; sang putus; sang amantuk; sang lina), disebutkan berarti :
  • Hubungan manusia sebagai mahluk hidup dengan dunia nyatanya telah putus yang biasanya dalam Bahasa Bali berkaitan dengan upacara pitra yadnyadisebut dengan “Pegat Angkihan” dimana :
    • Doa pralina diucapkan agar roh berjalan tenang dan diterima oleh Ida Shang Hyang Wenang / Hyang Widhi untuk dapat mencapai kesucian.
  • Terlepasnya sang jiwa (atman) dengan sthula sarira(badan fisik) juga disebutkan :
    • Akan melewati alam Mrtya Loka dengan perlahan-lahan;
    • Untuk melepaskan sisa-sisa keterikatan terhadap kehidupan duniawi dan kekasaran pikiran.
  • Mulih ke tanah wayah menuju alam swah loka yang berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa (God-centric).
Ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat dan setiap orang akan mengalaminya. Hendaknyalah disebutkan,
  • Setelah kematian untuk dapat mencapai moksa, kebahagiaan yang abadi.
  • dan ketika waktu itu akan tiba, juga disarankan :
    • lakukanlah bhakti kepada Tuhan secara srawanam dengan mendengarkan secara seksama Ikang Tinutur Pineh Ayu saat menjelang kematian dimana pranamaya kosha itu akan bergerak mengalir.
    • Karena Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa – lah sebagai sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia,
      • yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa,
      • kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
  • Dan ketakutan yang berlebihan terhadap kematian hanyalah akan menjadi rintangan abhiniwesa dalam mencapai kelanggengan abadi.
Jadi “mati” adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai  manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh atau atma masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebutkan dalam Pitra Yajna,
dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”. Demikian dijelaskan dalam sumber kutipan “Makalah Upacara Ngaben di Bali”.Dalam teks Yama Purwana Tattwa memilah upacara kematian menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Pada pelaksanaan upacara pengabenan terjadi pemisahan antara stula sarira dengan suksma sarira melalui pemercikan tirtha pengentas, selanjutnya stula sarira dipralina, sedangkan suksma sarira diantar  ke sunya loka dengan wedapuja,
  2. Pada pelaksanaan upacara pengiriman, tulang-tulang yang sudah dibakar dipungut, kemudian direka sebagai perwujudan raga, di atasnya ditempatkan 22 buah kewangensebagai simbol jiwa, selanjutnya dwi sarira ini dipersatukan dengan puja utpathi, disuguhkan yadnya sesajen, disucikan, kemudian dipralina kembali selanjutnya dianyut,
  3. Pada pelaksanaan upacara memukur atau nyekah, sang atma di angkat  kembali, di-sthana-kan pada adeg sekah, dipuja utpathi sebagai simbolis penyatuan, disucikan, kemudian dipralina, selanjutnya nganyut ke segara / laut.
Setelah tiga kali mengalami proses penyucian, dilanjutkan dengan pelaksanaan Upacara Nuntun Dewa Hyang yang bertujuan memberikan kebebasan dan penghormatan kepada para leluhur.
Alam kematian dalam Tri Loka sebagai lapisan-lapisan alam yang mayoritas dibentuk oleh mental, dijelaskan bahwa ketika kita mati, kita berpisah dengan sthula sarira (badan fisik) kita.Akibatnya semua rekaman atau memory dari seluruh kehidupan kita (yang tersimpan di karana sarira) muncul dan jebol semua, karena tidak ada lagi badan fisik yang menjadi penghalang (membuat kita lupa).
Sehingga di alam kematian, seluruh akumulasi pengalaman hidup baik dan buruk (atau prilaku subha karmamaupun asubha karma) akan muncul dari segala sudut pikiran, kejadian demi kejadian. Seperti film yang diputar cepat. Semua kejadian dan pengalaman hidup kita akan terlihat sangat jelas dan detail layaknya kita menonton film layar lebar..Dalam Kriyamana Karma Phala, disebutkan pula bahwa setelah orangnya mengalami proses kematian,  pahalanya akan diterima pada kelahiran berikutnya….
Sebagaimana diceritakan pula pada bagian bhismaparwa dalam Epos Mahabharata,
bahwa Kakek para Pandawa dan Korawa yaitu Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal dunia pada waktu yang ditentukan sendiri.
Selain ungkapan belasungkawa amor ring acintya, untuk doa / mantra melayat orang meninggal dunia diucapkan bait – bait sebagai berikut :
Om atma tattwatma naryatma Swadah Ang Ah
Om swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu.
Om ksàma sampurnàya namah swàha.
(Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, semogalah arwah yang meninggal mendapat sorga, menunggal denganMu, mencapai keheningan tanpa derita. Ya Tuhan, ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunanMu.)

Sate Lilit, Sate Unik Khas Bali



Bagi yang sudah sering bepergian ke Bali pasti sudah kenal akrab dengan salah satu makanan andalan pulau Dewata ini selain ayam betutu. Menu ini sangat mudah ditemukan di hampir seluruh tempat-tempat di Bali, seperti Denpasar, Badung, dan Gianyar.
Jika kita sekilas melihat tampilan luar sate ini, jelas sekali perbedaan antara sate lilit dengan sate-sate di Indonesia pada umumnya. Sate lilit terlihat lebih unik. Jika sate biasa berupa daging yang dipotong kecil-kecil lalu ditusuk pada sebuah tusuk sate yang kecil. Sementara sate lilit berupa gumpalan adonan daging yang disematkan pada sebatang tusuk sate yang terlihat lebih besar dari tusuk sate biasa.

Sate lilit sendiri merupakan makanan berbahan dasar daging yang diolah dengan cara dilumatkan, dicampur bumbu-bumbu, dan dikepalkan pada sebatang tusuk sate besar. Setelah itu sate dibakar hingga mengeluarkan aroma yang khas dari kunyit dan serai. Kadang-kadang, penggunaan tusuk sate dari sate lilit ini sendiri diganti dengan batang serai, sehingga aroma serai lebih terasa kuat.
Untuk menikmati sate lilit ini juga berbeda dari yang lainnya. Jika kita biasa menikmati sate dengan tambahan berbagai bumbu atau samal, seperti bumbu kacang dan sambal kecap, berbeda saat kita menikmati sate lilit. Kita bisa menikmati sate ini tanpa tambahan bumbu lainnya karena bumbu yang  meresap dalam sate lilit saat pembuatannya ini sudah cukup untuk membuat anda berdecak kagum karena nikmatnya.
Bumbu-bumbu yang digunakan dalam adonan sate lilit juga sangat beragam, mulai dari merah, bawang putih, serai, dan daun jeruk. Campuran berbagai bumbu tersebut menghasilkan rasa pedas, manis, dan gurih dengan sentuhan rempah yang akrab di lidah masyarakat Indonesia. Untuk daging yang digunakan untuk membuat sate lilit biasanya adalah ikan tuna, namun banyak juga yang membuat sate lilit dari daging ayam, sapi, dan babi.
Sate lilit biasanya disajikan bersama beberapa jenis hidangan lainnya. Hidangan yang biasa menjadi pendamping sate lilit seperti sup ikan tuna. Ditemani nasi hangat dan sambal matah yang nikmat, hidangan sate lilit akan terasa semakin lengkap dan mantap.

Cerita Anak : Legenda Asal Mula Danau Batur



Legenda asal mula Danau Bantur merupakan cerita anak rakyat Bali yang sering diceritakan hingga saat ini. Cerita ini sering dihubungkan dengan adanya sesosok raksasa yang bernama Kebo Iwa. Namun pada cerita rakyat yang lain, Kebo Iwa merupakan jenderal militer pada saat Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berkuasa. Pada cerita anak rakyat memang sering ditemukan banyak versi untuk satu legenda atau nama tokoh, jika ingin lebih jelas mengenai hal ini baca artikel kami.


Tersebutlah sepasang suami istri yang hidup di Bali pada zaman dahulu. Keduanya telah lama berumah tangga, namun belum juga dikaruniai anak. Serasa tak putus-putusnya mereka berdoa dan meminta dikaruniai anak. Doa dan permintaan mereka akhirnya dikabulkan Sang Hyang Widi Wasa. Sang istri mengandung dan kemudian melahirkan seorang bayi lelaki.
Bayi lelaki itu tumbuh sangat cepat. Ia sangat kuat nafsu makannya. Meski masih bayi, nafsu makannya telah setara dengan sepuluh orang dewasa. Seiring bergulirnya sang waktu, si bayi berubah menjadi kanak-kanak. Sangat besar tubuhnya dan kian meningkat kuat nafsu makannya. Ia pun diberi nama Kebo Iwa, paman kerbau makna namanya.
Bertambah hari bertambah besar tubuh Kebo Iwa. Bertambah kuat pula nafsu makannya. Sehari kebutuhan makannya sama dengan kebutuhan makan seratus orang dewasa. Kedua orangtuanya benar-benar kewalahan memenuhi hasrat makan Kebo Iwa.
Kebo Iwa terkenal pemarah. Kemarahannya mudah meledak, terutama jika ia tidak mendapatkan makanan yang cukup. Jika ia telah marah, ia akan merusak apa saja yang ditemuinya. Ia biasa merusak rumah-rumah penduduk. Bahkan, pura tempat ibadah pun tanpa takut-takut akan dihancurkannya jika kemarahannya telah meninggi. Penduduk desa akan sangat ketakutan jika mendapati Kebo Iwa telah marah. Namun demikian, sesungguhnya Kebo Iwa bersedia membantu penduduk desa yang membutuhkan bantuan tenaganya. Ia bersedia membuatkan sumur, memindahkan rumah, meratakan tanah berbukit-bukit, membendung sungai, atau mengangkut batu-batu besar. Ia akan cepat melaksanakan pekerjaan yang sangat berat dilakukan kebanyakan manusia itu. Tentu saja ia meminta imbalan berupa makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuatnya kenyang.
Selama para penduduk yang kebanyakan menjadi petani itu mendapatkan hasil panen yang cukup, penduduk masih bisa bergotong royong memberikan makanannya untuk Kebo Iwa. Namun, ketika terjadi musim paceklik', penduduk mulai kesulitan dan kewalahan untuk menyediakan makanan untuk Kebo Iwa.
Penduduk menjadi sangat cemas. Mereka tidak hanya cemas memikirkan cara mencari bahan makanan untuk keluarga masing-masing, mereka juga cemas memikirkan Kebo Iwa. Apa yang harus diberikan kepada Kebo Iwa jika mereka tidak mempunyai bahan makanan? Kebo Iwa pasti tidak mau mengerti keadaan yang tengah mereka alami. Bagi Kebo Iwa, jika ia mendapatkan makanan yang cukup, maka ia akan diam. Namun, jika tidak, ia akan mengamuk sejadi-jadinya.
Warga desa lantas berkumpul untuk membahas masalah yang mereka hadapi berkenaan dengan Kebo Iwa itu. Mereka merencanakan suatu siasat untuk menghadapi Kebo Iwa. Jika memungkinkan, melenyapkan Kebo Iwa yang sangat meresahkan itu. Setelah berembuk, warga desa akhirnya menemukan cara untuk mewujudkan rencana mereka.
Segenap warga desa bergotong royong untuk mengumpulkan makanan. Sedikit demi sedikit makanan akhirnya terkumpul hingga cukup jumlahnya untuk menjadi santapan Kebo Iwa. Sebagian warga juga bergotong royong untuk mengumpulkan batu-batu kapur. Setelah makanan dan batu kapur tersedia, Kepala Desa dengan diiringi beberapa warga lantas menemui Kebo Iwa
tengah bersantai setelah menyantap beberapa ekor hewan ternak milik warga desa. Ia sedikir terperanjat melihat beberapa orang mendatanginya. Katanya, "Mau apa kalian ke sini? Apa kalian mempunyai makanan yang cukup membuatku kenyang? Aku masih lapar!"
"Kami mempunyai makanan yang lebih dari cukup untuk membuatmu kenyang,"jawab Kepala Desa. "Kami akan memberikan semuanya kepadamu asal engkau bersedia membantu kami."
Mendengar ada makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuat perutnya kenyang, Kebo Iwa langsung bangkit dari rebahannya dan berkata, "Aku tentu saja mau membantu kalian jika kalian memberiku makanan. Apa yang bisa kubantu?"
Kepala Desa lantas menjelaskan perihal banyaknya rumah warga yang telah rusak akibat amukan Kebo Iwa.
"Itu karena kalian tidak bersedia memberiku makanan," sahut Kebo Iwa tanpa merasa bersalah. "Jika kalian memberiku makanan, niscaya aku pun tidak akan menghancurkan rumah kalian."
"Seperti yang engkau ketahui, semua itu diakibatkan kegagalan panen yang kami alami. Kegagalan panen itu disebabkan ketiadaan air karena musim kemarau yang terus berkepanjangan ini;" kata Kepala Desa. "Padahal, di dalam tanah ini sebenarnya terdapat banyak air. Sangat meIimpah jumlahnya. Oleh karena itu kami meminta bantuanmu untuk membuatkan sumur yang sangat besar! Air dari sumur besar itu akan kami gunakan untuk mengairi sawah-sawah kami. Jika tanaman-tanaman kami cukup mendapat air, niscaya kegagalan panen dapat kami tanggulangi. Kami juga tidak lagi kesulitan untuk memberimu makanan. Berapa pun juga jumlah makanan yang engkau butuhkan, kami pasti sanggup untuk memenuhinya.”
Kebo Iwa sangat gembira mendengar rencana Kepala Desa. "Baiklah," katanya. "Itu rencana yang sangat baik. Aku tentu saja bersedia membantu kalian:'
Kebo Iwa lantas mulai bekerja. Ia mendirikan beberapa rumah seperti yang dikehendaki Kepala Desa. Ia lantas menggali tanah di tempat yang ditentukan Kepala Desa. Tenaganya yang sangat sangat besar mulai tercipta. Sementara Kebo Iwa terus menggali, warga desa lantas mengumpulkan batu-batu kapur di dekat tempat Kebo Iwa sedang menggali tanah.
Mengetahui warga desa mengumpulkan batu kapur, Kebo Iwa merasa keheranan. "Untuk apa kalian mengumpulkan batu kapur sebanyak itu?" tanyanya.
"Setelah engkau selesai membuat sumur besar, kami akan membangunkan rumah untukmu. Rumah yang besar lagi sangat indah.” jawab Kepala Desa. "Rumah untukmu yang sangat besar itu tentu membutuhkan batu kapur yang sangat banyak, bukan?"
Kebo Iwa sangat gembira mendengar jawaban Kepala Desa. Ia makin bersemangat menggali tanah. Berhari-hari ia bekerja keras. Semakin bergulirnya waktu semakin besar lagi dalam sumur yang dibuat Kebo Iwa. Air mulai memancar keluar hingga terciptalah sebuah kolam besar. Namun, Kepala Desa terus saja memintanya menggali tanah. Kebo Iwa menurut karena terus dijanjikan akan mendapatkan makanan yang sangat banyak dan juga dibuatkan rumah yang sangat besar. Lubang di tanah kian membesar lagi semakin dalam. Air yang memancar keluar juga semakin banyak.
Kebo Iwa terus bekerja hingga ia kelelahan dan juga kelaparan. Ia meminta waktu untuk beristirahat. "Mana makanan untukku?" teriak Kebo Iwa kemudian.
Warga desa berdatangan membawa makanan untuk Kebo Iwa. Kebo Iwa sangat gembira mendapati makanan dalam jumlah yang sangat banyak itu. Ia makan dengan amat lahap. la terus makan hingga perutnya kekenyangan. Setelah perutnya kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk. Sebentar kemudian ia telah tertidur dengan mendengkur. Suara dengkurannya sangat keras.
Setelah mendapati Kebo Iwa telah tertidur, Kepala Desa lantas memerintahkan segenap warga untuk melemparkan batu kapur ke dalam lubang galian yang dibuat Kebo Iwa. Beramai- ramai warga memasukkan batu-batu kapur, sama sekali tanpa disadari Kebo Iwa yang masih terlelap dalam tidurnya.
Air semakin banyak memancar dari dalam tanah dan batu kapur pun semakin banyak dimasukkan warga ke dalam lubang galian. Akibatnya hidung Kebo Iwa menjadi tersumbat. Kebo Iwa tersedak dan terbangun. Namun, terlambat baginya. Air makin deras memancar dan batu-batu kapur terus dilemparkan ke dalam lubang galian besar yang dibuatnya. Meski mempunyai tenaga yang sangat kuat, Kebo Iwa tidak berdaya pada akhirnya. Kebo Iwa akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di dalam lubang galian besar yang dibuatnya sendiri.
Air terus memancar hingga meluap dan membanjiri desa tempat tinggal Kebo Iwa. Desa-desa di sekitar desa itu pun turut terbanjiri. Sebuah danau yang besar akhirnya tercipta. Danau itu disebut Danau Batur. Timbunan tanah yang di sekitar danau itu kemudian berubah menjadi gunung dan disebut Gunung Batur.

Dewi Gayatri Dalam Agama Hindu Bal



Keberadaan tentang sosok Dewi Gayatri dalam lingkungan masyarakat Hindu Bali khususnya bisa dikatakan belum cukup populer. Dalam artian masih cukup banyak yang belum mengetahui tentang Beliau. Dewi Gayatri merupakan dewi yang dikenal sebagai penyebab awal dari segala sesuatu yang baik yang telah ada, yang sedang ada maupun yang akan ada nanti nya. Dan semua literatur kitab suci Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra.
Konon Gayatri sendiri yang adalah manifestasi dari lima bentuk bunda alam-semesta ini bersifat maha prakriti (Maya, ilusi Ilahi).  Kelima dewi ini adalah Saraswati-Laksmi-Durga-Uma dan Kali, yang membaur menjadi satu bentuk dominan di seluruh alam semesta ini, baik di alam buana-alit maupun buana-agung.  Gayatri lahir dari Sang Pencipta Brahman pada awal penciptaan dunia ini yang tersirat di Veda sebagai  mantra yang bersifat universal, yaitu suatu bentuk Pengagungan dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seorang Bunda alam-semesta itu sendiri dengan kelima bentuk kewajibanNya.  Itulah sebabnya walaupun memiliki hanya satu raga, Beliau berkepala kelima dewi di atas tersebut.
Dalam cerita mythologis tentang Dewi Gayatri , diceritakan bahwa Beliau dipuja oleh Dewa Tri Murti ( Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa) sebagai ibu pengasuh ketika para Dewa Tri Murti masih kecil. Secara spiritual Gayatri dianggap hadir selama 9 bulan 10 hari di dalam rahim seorang ibu yang sedang mengandung, dan selama itu pula sang jabang bayi belajar akan hakikat Tuhan Yang Maha esa dengan segala fenomenaNya baik di alam  bumi ini maupun di buana-agung dimana Beliau senantiasa maha hadir dimana saja.

Gayatri Mantra

Gayatri adalah doa universal yang ada dalam Weda, dan Gayatri adalah sari pati ajaran Weda, karena empat pernyataan dasar yang dikandung oleh empat Weda (Catur Weda) diwujudkan dalam Gayatri mantra, dan mantra ini juga dianggap perwujudan dari semua dewa-dewi, sehingga tidak menjadi milik satu sekte atau aliran tertentu dan hanya mantra ini yang dapat menyatukan ratusan aliran (Samprathaya) yang terdapat di dalam agama Hindu.
Berikut adalah Gayatri Mantra yang tentu sudah tidak asing lagi bagi umat hindu karena merupakan bait pertama dari Puja Tri Sandhya
OM BHUR BUWAH SWAH
TAT SAWITUR WARENYAM
BHARGO DEWASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYAT
(Ya Tuhan, Engkau penguasa alam nyata, alam gaib, alam maha gaib)
(Engkaulah satu-satunya yang patut hamba sembah)
(Engkaulah tujuan hamba dalam semadhi)
(Terangilah jiwa hamba agar hamba berada dijalan yang lurus menuju Engkau)
Mantra Gayatri ini tercantum dalam Weda RegWeda III.62:10 yang ditemukan oleh Maharsi Wiswamitra, yang merupakan salah satu Sapta Rsi yang menerima wahyu langsung dari Hyang Widhi/Tuhan yang maha Esa.

Manfaat Gayatri Mantra

Mantram Gayatri akan melahirkan tiga hal jika dilakoni sebagai:
MANTRA = akan menambah kekuatan pikiran dan kebijaksanaan.
STOTRA = sebagai permohonan dan persembahan kepada Tuhan untuk kepentingan dharma agama, keluarga dan dharma negara.
KAVACA = sebagai senjata pelindung bagi kelanggengan dan keharmonisan hidup di kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.
Selain tiga pokok dari manfaat Gayatri Mantra diatas, terdapat kegunaan yang lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Untuk Mengagungkan dan Menyembah Tuhan
  2. Untuk membuka ketujuh cakra utama yang ada dalam diri manusia
  3. Untuk mendoakan para leluhur
  4. Untuk mendoakan orang yang sedang sakit
  5. Untuk doa ketika akan tidur dll.
Tentunya kegunaannya dalam hal yang positif sangatlah banyak dan yang perlu diingat Gayatri Mantra tidak dapat digunakan untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Karena jika kita mencoba untuk hal seperti itu maka akan berdampak pada diri sendiri.
Secara umum biasanya Gayatri Mantra diucapkan sebanyak 108 kali. Akan tetapi bisa juga dengan jumlah yang berbeda. Tergantung dari tujuan dan maksud dalam berjapa Gayatri Mantra. 

Legenda Asal Mula Nama Desa Trunyan



Desa Trunyan, Desa Kedisan, dan Desa Abang Dukuh merupakan desa yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Keberadaan nama ketiga desa tersebut terkait dengan pengembaraan empat orang putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Berikut kisahnya.
Alkisah, Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta mempunyai empat orang anak, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling bungsu. Suatu hari, tiba-tiba mereka mencium bau harum yang sangat menyengat.
“Hai, bau harum apa itu?” tanya Pangeran Sulung, “Apakah kalian menciumnya juga?
“Iya, Kanda. Bau harum itu amat menyengat,” jawab ketiga adiknya serentak.
Keempat bersaudara itu pun mencari sumber bau harum yang menyengat tersebut.
“Sepertinya bau harum itu berasal dari arah timur, Kanda,” ujar si Putri Bungsu.
“Iya, kamu benar, Adikku,” Kakak sulungnya mengiyakan.
Keempat bersaudara itu amat penasaran dan tertarik pada bau harum itu. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk mencari sumbernya. Setelah menyiapkan segala keperluan dan mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun mengadakan perjalanan menuju ke arah timur. Semakin jauh mereka ke timur, bau harum itu kian menyengat. Setelah berbulan-bulan berjalan dengan menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai, dan Selat Bali, akhirnya mereka tiba di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga ke perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yaitu perbatasan antara Desa Ciluk Karangasem dan Tepi yang terletak di dekat Buleleng. Setiba di kaki Gunung Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Ada, adinda? Mengapa berhenti?” tanya Pangeran Sulung.
“Adinda tertarik pada tempat ini, Kanda. Jika diperkenankan, izinkanlah Adinda tinggal di tempat ini,” pinta si Putri Bungsu.
Permintaan Putri Bungsu pun disetejui oleh ketiga kakaknya. Sejak itulah, Putri Bungsu dari Kerajaan Surakarta itu berdiam di tempat tersebut. Namun, ia kemudian pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat Pura Batur berdiri. Selanjutnya, sang Putri diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg. Sementara itu, ketiga kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan perjalanan. Saat tiba di suatu dataran bernama Kedisan yang terletak di sebelah barat daya Danau Batur, mereka mendengar suara burung yang amat merdu. Saking senangnya, Pangeran Ketiga berteriak kegirangan. Namun, Pangeran Sulung tidak senang mendengar kelakuan adiknya itu.
“Hai, Adikku! Jika kamu senang dengan tempat ini, maka tinggallah kamu di sini,” seru Pangeran Sulung.
“Tidak, Kanda. Adik mau ikut kalian,” tolak sang Adik.
Akan tetapi, Pangeran Sulung sudah terlanjur murka. Maka, ia pun menendang adiknya hingga terjatuh dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi patung. Hingga saat ini, patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih dapat kita temukan di Kedisan dengan posisi duduk bersila. Patung Bathara yang merupakan penjelmaan Pangeran Ketiga Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero dan kini sedang bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu atau bangunan suci dalam pura yang beratap tujuh tingkat di Pura Dalam Pingit, di Desa Kedisan.
Tinggal dua orang pangeran yang tersisa dalam perjalanan itu, yaitu Pangeran Sulung dan Pangeran Kedua. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur. Ketika sampai di sebuah dataran, mereka bertemu dua gadis cantik. Oleh karena tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran Kedua pun menyapa mereka. Namun, Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu.
“Hai, Adikku! Jika kamu senang pada gadis itu, tinggallah kamu di sini!” seru Pangeran Sulung.
“Tidak, Kanda. Dinda ingin bersama Kanda,” jawab Pangeran Kedua.
Sekal lagi, Pangeran Sulung sudah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran Sulung kemudian menyepak adiknya hingga jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon, Pangeran Kedua itu kemudian menjadi kepala desa dan desa itu dinamakan Desa Abang Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu merupakan bagian dari Desa Abang, dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam bahasa setempat disebut dengan istilah dukuh.
Pangeran Sulung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber bau harum itu. Ia kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Setiba di sebuah dataran, ia mendapati seorang dewi yang cantik jelita sedang duduk sendirian di bawah pohon Taru Menyan. Pangeran Sulung rupanya amat terpesona pada kecantikan sang Dewi dan berniat untuk melamarnya. Ketika ia menghampiri dewi itu, bau harum yang berasal dari pohon Taru Menyan itu semakin menusuk hidungnya.
“Oh, rupanya pohon inilah sumber bau harum itu,” gumam Pangeran Sulung.
Pangeran Sulung pun semakin mantap untuk melamar dewi itu. Lamaran itu ia sampaikan kepada kakak sang Dewi.
“Baiklah. Engkau boleh menjadi suami adikku, tapi dengan satu syarat,” kata kakak sang Dewi.
“Apakah syarat itu?” tanya Pangeran Sulung ingin tahu.
“Engkau harus menjadi pancer jagat (pasak dunia) atau pemimpin desa, ” kata kakak si Dewi.
“Baiklah, syarat itu saya terima,” kata Pangeran Sulung.
Akhirnya, pesta perkawinan Pangeran Sulung dan sang Dewi dilangsungkan dengan meriah. Setelah itu, Pangeran Sulung dinobatkan sebagai pemimpin desa yang dikenal dengan nama Desa Trunyan. Nama desa itu diambil dari nama pohon Taru Menyan. Taru berarti pohon dan menyan berarti harum. Kemudian, setelah menjadi suami sang Dewi, Pangeran Sulung diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Ratu Sakti Pancering Jagat kemudian menjadi dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan istrinya menjadi Dewi Danau Batur yang hingga kini dipercaya sebagai penguasa danau tersebut.
Sejak itulah, Ratu Sakti Pancering Jagat dibantu sang istri memimpin Desa Trunyan dengan arif dan bijaksana. Lama-kelamaan, desa itu pun berkembang menjadi kerajaan kecil. Sebagai raja yang arif dan bijaksana, Ratu Sakti Pancering Jagat menginginkan negeri dan seluruh rakyatnya hidup aman dan tenteram serta terhindar dari serangan luar. Oleh karena itulah, ia pun memerintahkan seluruh rakyat untuk menghilangkan bau semerbak itu.
“Wahai, seluruh rakyatku! Aku perintahkan kalian agar jenazah-jenazah orang Trunyan tidak lagi dikuburkan, tetapi biarkan saja membusuk di bawah pohon Taru Menyan sehingga bau harum itu tidak akan lagi mengundang kedatangan orang luar ke negeri ini!” titah Ratu Sakti Pencering Jagat.
Sejak itulah, setiap ada penduduk Trunyan yang meninggal, jenazah mereka hanya dibiarkan membusuk di atas tanah. Karena bau busuk itulah, Desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau harum. Demikian pulah sebaliknya, jenazah-jenazah penduduk Trunyan itu juga tidak mengeluarkan bau busuk. Bau harum dan bau busuk tersebut telah saling menetralisir. 

Makna dan Filosofi Amor Ring Acintya

Ungkapan ‘amor ring acintya’, dalam masyarakat bali sekarang, umumnya dirasa hanya sebatas slogan, yang sesungguhnya sangat sarat makna. Jika disertai dengan pemahaman yang baik, siapapun yang mendengar ungkapan tersebut jiwa dan pikirannya pasti tergetar. Dumugi amor ring acintya artinya semoga bersatu dalam kedewataan tertinggi (acintya). Ungkapan ini diucapkan ketika ada seseorang meninggal dunia di bali.
Dumugi berarti semoga. Amor berarti bersatu, menghilang, atau menuju kedalam  situasi ‘ketiadaan’ atau ‘tidak tampak’. Acintya berarti ‘tidak tersentuh oleh pikiran’. Dalam konteks filsafat disamakan dengan sūkṣma dan śūnya.
Sastra jawa kuna menyebutkan beberapa baris terkait dengan ungkapan di atas. Berikut kutipan dari naskah kidung dan kakawin jawa kuno:
1). ‘amor ring dewata’ ada dalam kidung harsa-wijaya: ‘saṅ wus amor iṅ dewata; saṅ wus amor iṅ dewa; saṅ wus amor i widi;
2). ‘amor ring widhi’ ada dalam kidung sunda disebut ‘saṅ wus amor iṅ widi.
3). ‘amor ring śiwātmaka’ ada dalam naskah wangbang wideha,‘agya ni ṅwaṅ amor iṅśiwātmaka
Ungkapan tersebut ditujukan kepada para raja, atau orang suci, yang dimaksudkan ‘saṅ wus amor iṅ dewata’ (beliau yang telah kembali ke alam kedewataan’, adalah beliau-beliau yang suci, yang terhormat, ‘memenangkan kehidupan ini’ dan kembali ke alam kedewataan.
Jika ingin kembali ke alam kedewataan, tentunya kita harus punya kualitas kedewataan dulu. Kalau kualitas diri kita hanya kw2 atau kw3 tujuan itu akan semakin jauh. Slogan tinggal slogan. ‘Amor ring acintya’ tidak lain cita-cita kemanusiaan terdalam ajaran siwa, buddha, dan hindu pada umumnya, yang kita kenal sebagai pencapaian ‘moksa’ atau ‘nirvana’.
Di bali kita mewarisi lontar-lontar berbahasa jawa kuno yang menjadi panduan dalam meningkatkan kualitas diri kita dari kw2 atau kw3 menuju jiwa yang ‘orisinil’. Lontar-lontar tersebut antara lain: aji kadyatmikan, aji kamoksan, aji putus, dharma sunya, dharma patanjala, wṛhaspatitattwa, dstnya. ‘amor ring acintya’ di dalam lontar-lontar tersebut mempunyai padanannya yaitu: sūkṣma dan śūnya.
‘amor ring acintya’ adalah tujuan tertinggi semua naskah-naskah tersebut. Di salah satu naskah tersebut, yaitu wṛhaspatitattwa, disebutkan dalil asal muasal kita harus kita pahami jika kita ingin kembali ke asal muasal kita, alam kedewataan. Logikanya: jika mau sampai tujuan kita harus mengenal jalan. Jika kita mau ke asal muasal kita, bagaimana kita sampai ke asal jika tidak mengerti prinsip asalmuasal kehidupan? Bagaimana tidak mengenal jalan berharap sampai di tujuan? Langkah-langkah dalam lontar-lontar di bali disebutkan: pertama mengenal prinsip tattwa atau prinsip penciptaan dan asal muasal. Kedua mengenal jalan, selanjutnya menempuh jalan, dan dijalani dengan penuh ketulus-ikhlasan ketika menempuh jalan. Disebutkan, setelah tahapan-tahapan itu terjalankan dengan kesempurnaan baru kemungkinan sampai tujuan: amor ring acintya.
‘amor ring acintya’ yang dipopulerkan di masyarakat bali tentu sangatlah penting. Setidaknya, kita kembali berulang kali diingkatkan bahwa muasal kita dan tujuan kita adalah sang hyang acintya, maha hening kedewataan tertinggi. Dengan mendengar istilah itu saat seseorang meninggal, kita disapa, diingatkan lagi, diajak kembali menimbang ‘kedewataan asal muasal kita’, dan ‘kedewataan yang akan menjadi tujuan kita’.
Acintya, sūkma dan śūnya, adalah dalil yang terbuka di dalam diri kita, dalam kehidupan kita, dalam kemanusiaan terdalam yang senantiasa menggugah untuk kita masuki dan renungi dengan keheningan mendalam. Celakanya, kita cenderung terlalu banyak berkata-kata untuk menjelaskan ‘yang tak tersentuh pikiran itu’ (acintya). –sumber

Makna Benang dalam Upacara Hindu di Bali




Seringkali kita menemukan penggunaan benang pada beberapa upacara agama Hindu khususnya di Bali. Penggunaan benang sebagai simbol suci tali pengikat dalam proses kehidupan yang ada pada upacara yadnya dan tetandingan banten. Benang-Benang yang biasanya digunakan pada upacara yadnya ialah sebagai berikut :
  1. Benang Putih. yang biasanya digunakan saat otonan dan diikatkan pada pergelangan tangan sebagai simbol agar hati kita selalu di jalan yang lurus/benar dalam kehidupan ini. Sedangkan penggunaan benang Putih pada saat mabeakala saat upacara pawiwahan, benang papegat yang berwarna putih sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya menuju Grehasta Asrama (berkeluarga).
  2. Benang Tri Datu, sebagai simbol ikatan akan tiga perjalanan hidup di dunia ini yang disebut Tri Kona (Lahir, Hidup & Mati). Benang Tri Datu juga sebagai lambang Kesucian Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma (pencipta), Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa (pelebur).
  3. Benang Selem, yang berwarna hitam dalam upacara pagedong – gedongan pinaka penuntun hidup.
  4. Benang Tukelan, ada pada daksina lambang naga dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari tirta amertha sebagai alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja.
  5. Benang, pis bolong, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan dalam banten penyeneng berfungsi sebagai alat untuk nuntun.
  6. Benang Tatebus,  filosofi penggunaan benang tetebus dalam upakara yadnya adalah  jika kita mengerjakan sesuatu hendaknyalah dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan. Benang tetebus ini digunakan sebagai simbol dari beberapa upacara yadnya dan tetandingan banten seperti disebutkan :
  • Pada tetandingan banten pengladagan dedari dalam upacara pagedong gedongan menggunakan tetebus putih kuning.
  • Banten sesayut patemon mangge ring pawiwahan, sane istri (perempuan) menggunakan tatebus barak sedangkan sane lanang (laki-laki) menggunakan tatebus putih, tetapi untuk Tatebasan bayakala pakala – kalanan menggunakan benang tatebus putih.
  • Sesayut purna asihnya ngangge tatebus item dan kuning.
  • Tatebus untuk tatebasan / sesayut dharmaning angekeb sari manut ring warnaning tumpeng.
  • Sesayut sugih rendah rikala negteg Pulu menggunakan tatebus putih.
  • Ring pengekeban, sesayut dreaman angopti sari menggunakan tatebus item dan kuning. –sumber

Kenapa Tidak Boleh Memukul Anjing Saat Melakukan Upacara Yadnya



Diceritakan Maharaja Janamejaya menggelar upacara yadnya di Kuruksetra. Maka diperintahkanlah oleh beliau salah seorang sanak saudara beliau untuk mengawasi dan menjaga tempat pelaksanaan ritual upacara yadnya tersebut. Sanak  saudara beliau yang diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi tempat dan pelaksanaan ritual upacara yadnya tersebut bernama sang Srutesena. Ketika pelaksaanaan upacara yadnya tersebut tengah berlangsung, ada seekor anjing yang bernama Sarameya, ikut menonton dan menyaksikan ritual upacara yadnya tersebut. Dilihatlah anjing tersebut oleh sang Srutesena, kemudian dipukulah anjing tersebut oleh sang Srutesena.
Anjing tersebut kemudian lari sambil menangis kesakitan. Anjing tersebut kemudian menceritakan hal yang ia alami kepada Ibunya. Ternyata ibu dari anjing yang bernama Sarameya ini adalah sang Sarama, istri dari Bhagawan Pulaha.  Sedih dan terpukul hati sang Sarama mengetahui bahwa anak beliau dipukul tanpa dosa. Oleh karenanya beliau kemudian pergi ke Kuruksetra, tempat dimana upacara yadnya itu berlangsung. Setibanya di tempat dimana Maharaja Janamejaya menggelar upacara yadnya tersebut, beliau kemudian bersabda dan memberikan kutukan.
“Hai Maharaja Janamejaya, Sarameya adalah putraku, ia sangat santun, ia tahu bahwa dirinya kotor, ia tidak menginginkan persembahan dan sesajenmu, apalagi sampai menjilatinya. Sejatinya ia hanya ingin menyaksikan dari kejauhan upacara yadnyamu, tapi ia dipukul padahal perbuatannya tiada dosa, oleh sebab itu akan ada bencana besar yang akan engkau dapatkan di kemudian hari, karena memukul  yang tak sepatutnya dipukul”.
Demikian kutukan sang Sarama kepada Maharaja Janamejaya. Setelah berkata demikian sang Sarama kemudian lenyap menghilang dari pandangan. Mendengar kutukan ini Maharaja Janamejaya menjadi sangat sedih dan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beliau tidak menyangka bahwa dirinya akan dikutuk oleh Bhatari Sarama. Akhirnya Maharaja Janamejaya memutuskan untuk menyudahi ritual upacara yadnya tersebut.
Demikian sekilas cerita yang dikutip dari Adi Parwa, yang banyak dipakai acuan agar mereka yang menggelar upacara yadnya tidak sembarangan memukul anjing yang seringkali datang ke tempat upacara yadnya berlangsung.
Berbagai jenis makanan dan sesajen, sudah barang tentu mengundang anjing-anjing untuk datang demi untuk mendapatkan makanan. Seringkali anjing-anjing ini berebut dan berkelahi diantara mereka dan tak jarang menyebabkan sedikit kekacauan di tempat upacara yadnya berlangsung. Melihat hal seperti ini banyak dari akan menjadi marah dan akan segera mengambil tindakan dengan mengambil kayu kemudian memukul anjing-anjing tersebut. Namun seringkali walaupun sudah dipukul dan diusir berkali-kali, anjing-anjing itu akan kembali lagi dan kembali membuat gaduh, inilah wujud “gegodan” kecil dalam pelaksanaan upacara yadnya.
Dalam situasi seperti inilah sejatinya kesabaran kita diuji, untuk tidak sembarangan memukul anjing-anjing tersebut. Tentu anjing-anjing tersebut harus diusir, agar tidak mengganggu, namun tentu ada cara lain, cara yang lebih baik daripada memukul mereka. Lebih baik mengusir mereka dengan cara sekadar menggertak, namun tidak menyakiti, atau mungkin menyediakan tempat di luar tempat upacara dimana anjing-anjing ini bisa diberi makanan, agar tidak mengganggu dan lalu lalang di tempat upacara berlangsung.
Memberikan makanan pada anjing-anjing ini adalah salah satu wujud Bhuta yadnya atau pemberian bagi mahkluk bawah, guna mendamaikan mereka. Sama halnya dengan para bhuta, jika anjing-anjing tersebut, tidak ditangani dengan baik, mungkin bisa menjadi suatu hal yang mengganggu atau “gegodan”. Oleh sebab itulah selain bakti dan ketulusan dalam beryadnya, kesabaran serta ketenangan juga merupakan sebuah hal penting yang harus dimiliki oleh mereka yang menggelar upacara yadnya. Harus diketahui bahwa “gegodan” bisa mengambil wujud apapun, guna menghalangi keberhasilan upacara yadnya yang sedang dilaksanakan. Jadi jangan biarkan hal kecil menjadi sebuah penyebab gagalnya upacara yadnya yang dilaksanakan.
Disamping itu pula, apabila diselami lebih dalam makna dari yadnya, maka akan dipahami bahwa segala bentuk upacara yadnya bertujuan untuk mendamaikan ketiga dunia, Bhur Bwah Swaha, serta segala isinya, termasuk para binatang. Maka siapapun yang melangsungkan ritual upacara yadnya, jika ingin yadnya yang dilakukan berhasil tanpa halangan, hendaknya menghindari perbuatan-perbuatan yang mungkin menyakiti mahkluk lain, apalagi mahkluk yang tak berdosa.

Mantra Penghilang Cetik


Sering kita lihat bahwa di Bali banyak bertebaran cetik (racun gaib). Ketika ada orang yang tidak senang pada orang lain, biasanya orang bali menggunakan cetik. Biasanya cetik identik dengan makanan. Dalam makanan itu telah di pasang cetik yang ramuannya telah di peroleh dari balian (dukun) atau bisa juga dengan mengolah sendiri bahan-bahannya. Ketika orang yang memakan/ minum cetik itu, maka beberapa saat/ beberapa hari kemudian akan terkena efek dari cetik itu. Efeknya bermacam-macam, mulai dari sakit kepala yang hebat, sakit perut, bahkan hingga kematian, sesuai dengan pesanan si penerima. Namun perlu di ketahui, bahwa dalam kitab suci di sebutkan bahwa
orang yang meracuni / mencelakai orang itu, hidupnya akan sengsara di kemudian hari. bahkan sampai beberapa generasi/ keturunan.
Berikut mantra untuk menghindari cetik :
Ong Sang Hyang Brahma, pinaka urip wetengku
Sang Hyang Siwanirmala angadeg ring jiwanku
Wisnu Iswara anglebur sahananing kapangan kenum
Sastra Mang Ang Ung Mang Ah amunah wisia cetik, ring nabiku apupul sawiji
Angidep sapta Ongkara jati pamunah wisia desti teranjana
Poma poma poma, kedep mandi mantranku Ong Ong Ong
Caranya: sebelum minum ataupun makan sesuatu, hendaknya baca mantra di atas dengan penuh kepercayaan dan keheningan hati dan pikiran. bisa di ucapkan berulang kali. Selanjutnya oleskan iduh bang atau ludah dengan jari tengah pada selagan lelata ( di atas hidung,  antara alis) bisa juga iduh bang itu di telan sebanyak tiga kali, agar terhindar dari cetik teranjana yang sangat ganas serta mematikan.
sekian.. semoga bermanfaat dan dapat membantu.

Banten Pasupati dan Mantra Pasupati di Tumpek Landep



Pasupati (Pāśupatāstra) dalam kisah Mahabharata adalah panah sakti yang oleh Batara Guru dianugerahkan kepada Arjuna setelah berhasil dalam laku tapanya di Indrakila yang terjadi saat Pandawa menjalani hukuman buang selama dua belas tahun dalam hutan. Panah yang berujung bulan sabit ini pernah digunakan oleh Batara Guru saat menghancurkan Tripura, tiga kota kaum Asura yang selalu mengancam para dewa. Dengan panah ini pula Arjuna membinasakan Prabu Niwatakawaca. Dalam perang Bharatayuddha, Arjuna menggunakan panah ini untuk mengalahkan musuh-musuhnya, antara lain Jayadrata dan Karna yang dipenggal nya dengan panah ini.

Makna Pasupati

Upacara Pasupati bermakna pemujaan memohon berkah kepada Hyang Widhi (Sang Hyang Pasupati) untuk dapat menghidupkan dan memberikan kekuatan magis terhadap benda-benda tertentu yang akan dikeramatkan. Dalam kepercayaan umat Hindu (ajaran Sanatana Dharma) di Bali, upacara Pasupati merupakan bagian dan upacara Dewa Yadnya. Proses pasupati bisa dengan hanya mengisi energi atau kekuatan tuhan atau menstanakan sumber kekuatan tertentu di dalam benda tersebut. Tergantung kemampuan orang yang melakukan upacara pasupati tersebut. dalam Bhagavadgita IV.33, disebutkan bahwa:
srayan dravyamayad yajnaj
jnanayajnah paramtapa
sarvam karma ‘khilam partha
jnane perimsamapyate
artinya:
Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa lebih bermutu daripada persembahan materi dalam keseluruhannya semua kerja iniberpusat pada ilmu-pengetahuan, Oh Parta…
Salah satu hari suci agama Hindu yang cukup istimewa adalah Tumpek Landep yang jatuh setiap 210 hari sekali tepatnya pada setiap hari Saniscara Kliwon wuku Landep.
Secara umum untuk merayakannya, masyarakat Hindu menggelar kegiatan ritual yangkhusus dipersembahkan untuk benda-benda dan teknologi, yang berkat jasanya telah mampu memberikan kemudahan bagi umat dalam mencapai tujuan hidup. Utamanya adalah benda-benda pusaka, semisal keris, tombak, sampai kepada kendaraan bermotor, komputer, dan sebagainya.
Disamping hal tersebut, sesungguhnya hari suci Tumpek Landep merupakan hari Rerahinan gumi dimana umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan kecerdasan, pikiran tajam serta kemampuan yang tinggi kepada umat manusia (Viveka dan Vinaya), sehingga mampu menciptakan berbagai benda yang dapat memudahkan hidup termasuk teknologi. Mesti disadari, dalam konteks itu umat bukanlah memuja benda-benda tersebut, tetapi memuja kebesaran Tuhan.
Upacara pasupati merupakan bagian dan upacara Dewa Yadnya, upacara ini ditata dalam suatu keyakinan yang terkait dengan Tri Rna. Upacara pasupati yang diyakini oleh manusia sejak dulu kala sampai kini hidup dalam proses budaya dan budaya tradisi kecil ke tradisi besar dan hidup sampai tradisi modern. Upacara ini bertujuan untuk menghidupkan serta memohon kekuatan magis terhadap benda-benda tertentu yang akan dikeramatkan. Menurut keyakinan Hindu khususnya di Bali segala sesuatu yang diciptakan oleh Ida Hyang Widhi mempunyai jiwa, termasuk yang diciptakan oleh manusia mempunyai jiwa/kekuatan magis dengan cara memohon kehadapan Sang Pencipta menggunakan upacara Pasupati. Seperti contohnya yaitu benda yang disakralkan berupa Pratima, keris, barong, rangda, dan lain-lain. Hal itu dapat dibuktikan dalam beberapa sloka dalam kitab suci agama Hindu yang berbunyi, sebagai berikut:
Bhurita Indra Wiryam tawa smaya
Sya stoturma dhawan kamana prna
Anu tedyavabhahah wiryani nama
Iyam ca te prthiwi nama ojase
Artinya:
Keselamatan-Mu sungguh hebat, Dewa Indra. Kami adalah milik-Mu, kabulkanlah Madhawan. Permohonan pemuja-Mu, langit yang megah seperti engkau. Kepada-Mu dan untuk kesaktian-Mu bumi mengabdi (Reg Weda).
Pemikiran di atas mengandung makna, penggambaran hubungan manusia dengan Tuhannya dapat melalui permohonan doa, kesucian pikiran ada kekuatan magic yang diyakini berkah Ida Hyang Widhi Wasa yang dilimpahkan pada umatnya. Secara simbolik upacara Pasupati berarti memberkahi jiwa (kekuatan magic) pada benda-benda budaya yang mempunyai nilai luhur dan memberikan kesejahteraan pada umatnya.
Dalam rangka sakralisasi maupun penyucian suatu benda seperti keris, barong, arca, pratime, pis bolong dan lain-lain harus melalui upacara prayascita dulu yang bermakna menghilangkan noda/kotoran yang melekat karena proses pembuatan benda tersebut. Secara niskala selanjutnya diadakan proses upacara “Dewa Prayascita”. Ada juga menyebut dibuat upacara Pasupati yang bermakna memberkahi kekuatan sinar suci Ida Hyang Widhi Wasa pada benda-benda tersebut. Ada pula mengatakan bahwa khusus upacara Pasupati bagi arca, Dewa-Dewa dilengkapi penulisan huruf magic. Mengacu pada pemikiran diatas upacara Pasupati di Bali masih ditradisikan di Bali, dimana benda seperti arca, barong, keris, Pis Bolong dan lain-lain setelah dipasupati, amat diyakini oleh masyarakat, bahwa benda tersebut memiliki roh atau jiwatman dan terkandung kekuatan suci Ida Hyang Widhi/Ida Hyang Pasupati dan juga menjadi sungsungan masyarakat.
Keyakinan Upacara diatas juga dibenarkan pula oleh pendapat tokoh antropologi yang mengatakan bahwa sistem kepercayaan masyarakat mengandung keyakinan dengan dunia gaib. Dewa – dewa, mahiuk halus, kekuatan sakti serta kehidupan yang akan datang pada wujud dunia dan alam semesta. Pemikiran diatas dikaitkan dengan upacara Pasupati membenarkan bahwa keyakinan yang tebal pada masyarakat setelah benda tersebut diupacarai pasupati akan diberkahi kekuatan sakti para dewa sebagai manifestasi Ida Hyang Widhi Wasa. Penulis juga pernah membaca pada lontar Tutur pasupati yang menggambarkan bahwa dengan memohon para dewa untuk memusnahkan segala kotoran untuk menemukan kesucian pada bhuwana alit dan bhuwana agung dengan berbagai mantra dan upakara, maka dari itu upacara pasupati tergolong upacara dewa yadnya. Upacara pasupati sebagai media sakralisasi, seperti telah dijelaskan di atas pelaksanaan upacara pasupati bervariasi menurut desa, kala dan patra masing-masing desa di Bali.

Sarana Upacara Banten Pasupati

Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini.
Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sariDupa Pasupati dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Banten Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati dengan kelengkapan banten prayascita, sorohan alit, banten durmanggala dan pejati.
Cara penyusunannya, dari bawah ke atas
Tebasan pasupati
  • Kulit sayut
  • Tumpeng barak
  • Raka – raka dan jaja
  • Kojong balung/prangkatan (5 kojong jadi 1) yang berisi kacang, saur, Gerang, telur dan tuung (terong)
  • Sampian nagasari, penyeneng, sampian kembang (terbuat dari don andong)
  • Pejati dan peras dengan sampian dari don andong, canangnya menggunakan bunga merah
  • Lis/buu alit (dari don andong)
  • dupa 9 batang
  • ayam biying mepanggang
  • segehan bang
banten prayascita untuk Pasupati
  • tumpeng mepekir, 5 buah
  • tulung, 5 buah
  • siwer 1, dengan tanceb cerawis
  • tipat pendawa
  • kwangen dan don dadap 5, masing 2 ditancapkan di tumpeng
  • raka-raka dan kacang saur
  • sampian nagasari
dapetan tumpeng 7, alas ngiu (ngiru)
  • taledan 2 – masing -masing di isi : taledan pertama: tumpeng 2, raka-raka kacang saur dan sampian nagasari. taledan ke dua: tumpeng 3, tulung, bantal, tipat penyeneng, raka2 kacang saur dan sampian pusung
  • sayut 2  – masing -masing di isi : sayut pertama; gibungan lempeh 1, raka2 kacang saur dan sampian nagasari dan sayut berikutnya; gibungan lanying 4, raka2 kacang saur dan sampian nagasari
  • di tengah2 isi cawan, isi base tampin, beras, benang tebus, pis bolong 3, penyenyeng
sorohan alit untuk Pasupati
  • taledan mesibeh/mesrebeng
  • kulit sayut 2 , di sampingnya
  • kulit peras di tengah2 antara sayut
  • ujung peras isi katak-kituk, sesisir pisang, sedikit jajan, nasi dan saur, isi plaus kecil, smua dsb nasi sasah, sidampingnya isi pisang tebu raka-raka
  • belakang nasi sasah isi tumpeng, 11 buah
  • kulit sayut isi nasi pulungan 4
  • kulit sayut lagi satu, sisi gibungan alit 1
  • di kulit peras isi tulung, 3 buah
  • isi kacang saur raka-raka
  • sampian pusung 2, di taruh bagian depan
  • di atas sayut sampian naga sari, 2 buah
  • atas kulit sayut sampian nagasari 1
  • penyeneng, tatakan celemih, isi base tampin, beras, benang tebus
  • lis / buu alit
  • banten bersihan
banten durmanggala dengan klungah nyuh mulung (gadang)
Banten Pejati untuk melengkapi Banten Pasupati sebagai hulu upacara pasupati tersebut.
Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu umat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh…!
Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga.
Sebenarnya siapapun dapat “menghidupkan / me-pasupati” Rerajahan / barang setelah melalui beberapa ritual tertentu, seperti membacakan “mantra pangurip”. Namun hendaknya sebelum mantra ini diucapkan sebaiknya pahami benar maksud gambar Rerajahan yang akan di “pasupati” agar tidak menjadi bumerang dikemudian hari.
Pedanda (karena Brahmana adalah sebutan untuk klan/keluarga pendeta Hindu, namun tidak selalu menjadi atau memiliki kemampuan menjadi pedanda) dan Pemangku juga Balian (paranormal) adalah praktisi-praktisi yang mendalami pembuatan Rerajahan, tentu saja mereka mampu menginisiasi rerajahan.

Mantra Pasupati:

Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip……..
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang
Ang-Ung-Mang,
Om Brahma pasupati,
Om Visnu Pasupati,
Om Siva sampurna ya namah svaha
Kemudian masukkan bunga ke dalam air yang telah disiapkan
Dengan demikian maka air tadi sudah menjadi Tirtha Pasupati, dan siap digunakan untuk mempasupati diri sendiri dan benda-benda lainnya.
Catatan:
……………………….Titik-titik pada mantra di atas adalah sesuatu yang mau dipasupati)-dalam hal ini adalah air untuk tirtha pasupati. Dalam hal tertentu dapat dipakai mempasupati yang lainnya..tergantung kebutuhan (tapi tetap saya sarankan hanya untuk Dharma, karena jika akan dipakai untuk hal-hal negatif maka mantra tersebut tidak akan berguna bahkan akan mencederai yang mengucapkannya)!!
Mantra di atas bersumber dari lontar Sulayang Gni Pura Luhur Lempuyang, koleksi pribadi.
Mantra Pasupati berikut juga bias digunakan, yang di Kontribusi dari Jro Mangku Wayan Natia, Pinandita Loka Palaya Seraya di Kecamatan Banjit, Way Kanan-Lampung.
Om ang ung pasupati badjra yuda agni raksa rupaya purwa muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati pasa yuda agni raksa rupaya pascine muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati cakra yuda agni raksa rupaya utara muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati padma yuda agni raksa rupaya madya muka desa tanaya pasupatnya ong pat
Om ang ung pasupati para mantra pasupatnya ong pat
Om ang brahma urip
Om ung wisnu urip
Om mang iswara urip
Urip (3x) Tang rerajahan
Om dewa urip, manusia urip, sing teka pada urip
Om kedep sidhi mandi mantra sakti
Atau dapat juga menggunakan mantra Pasupati berikut, yang dikontribusikan oleh jro manggih, salah satu orang yang disegani di daerah sebatu, gianyar..
Ong ang ung,
teka ater (3x)
ang ah, teka mandi (3x) ang.
(jeda sesaat)
Ong betare indra turun saking suargan,
angater puja mantranku,
mantranku sakti,
sing pasanganku teka pangan,
rumasuk ring jadma menusa,
jeneng betara pasupati.
Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.
(jeda sesaat)
Om bayu sabda idep, urip bayu, urip sabda, urip sarana, uriping urip, ya nama swaha. Om aku sakti, urip hyang tunggal, lamun urip sang hyang tunggal, urip sang hyang wisesa, teka urip 3x
Atau menggunakan mantra Pasupati berikut
MENYUCIKAN BAHAN
ong sameton tasira matemahan ongkara
Malecat ring angkasa tumiba ring pertiwi
Matemahan sarwe maletik
Mabayu, masabda, maidep
Bayunta pinake sabdan I ngulun
Pejah kita ring brahma
Urip kita ring wisnu
Begawan ciwakrama mengawas-ngawasi sarwa waletik
MANTRA NGERAJAH
ong saraswati sudha sudha ya namah swaha
PENGURIP RERAJAHAN
ong ang ung mang
Ang betara brahma pangurip bayu
Ung betara wisnu pangurip sabda
Mang betara iswara pangurip idep
Ong sanghyang wisesa pengurip saluiring rerajahan
Teke urip (3x) ang ung mang ong
PENGURIP SERANA
ong urip bayu sabda idep
Bayu teke bayu urip
Sabda teke sabda urip
Idep teke idep urip
Uriping urip teke urip (3x)
Hasilnya dari proses pasupati tidak akan sama antara orang yang 1 (satu) dengan yang lainnya tergantung tingkat kesucian masing – masing orang, memang semua orang bisa melakukan pasupati, asal tahu tatacara dan langkah – langkahnya. istilah balinya “eed upacara” tapi tetap hasilnya tidak akan sama kekuatan yang terpancarkan, bahkan bias – bisa kekuatan tersebut bahkan akan berefek buruk pada yang menggunakan barang – barang hasil pasupati jika salah dalam melakukan upacara tersebut.
Kewaskitaan sangat diperlukan karena proses tersebut mesti disaksikan sendiri apakah sdh benar atau hanya pikiran semata.
Pada proses pasupati orang yang melakukan upacara tersebut mesti bisa berbadan dewa atau menyatu atau sama kedudukan yang menyembah dengan yang disembah pada saat itu sehingga proses penghadiran dewa yang dikehendaki kekuatan nya benar- benar hadir dan mengisi benda yang akan dipasupati atau manifestasi Tuhan tersebut berstana atau berdiam diri langsung di benda yang diupacarai.
Kalau hanya berbekal keyakinan saya bs melakukan hal tersebut tanpa diimbangi dengan uraian diatas sama saja kita tidak tahu dengan apa yang kita lakukan dan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selama dan sesudah proses pasupati terjadi.
Jadi kesimpulannya semua bisa melakukan hal upacara pasupati tersebut tapi tetap akan diberikan ijin oleh Tuhan apa tidak itu tergantung dari manusia yang melakukan upacara tersebut.
Proses pasupati tidak sesimpel yang dipikirkan dengan hanya memegang benda yang akan dipasupati dan meniatkan benda itu berubah jd apa yang dikehendaki itu justru akan menjadi bumerang bagi yang mempasupati benda tersebut, karena dengan kesaktian penciptanya, justru kekuatan yang ada di benda tersebut akan menekan yang memakai benda tersebut sehingga berefek sangat buruk pada yang memakainya, akibatnya lama kelamaan aura kesaktian penciptanya ini akan menggencet jiwa pemakainya yang bisa mengakibatkan ketidakharmonisan didalam rumahtangga, misalnya : rasa takut, merinding, gelisah, rasa marah yang tidak terkontrol, dll
Kalau di ghanta yoga semua itu tidak terlepas dari energi ghanta dalam mempasupati sebuah benda, dengan kekuatan kesucian yang dimiliki pembina setiap benda yang dipegang saja sudah bercahaya apalagi beliau melakukan proses pasupati pastinya akan jauh lebih dasyat energi yang terpancar untuk keharmonisan alam sekitarnya dari benda yang sudah dipasupati beliau.
Permohonan kepada sang hyang pasupati dan diberikannya restu melalui kekuatan ghanta pada jaman sekarang ini akan membuat setiap benda menjadi berfungsi sangat sempurna sesuai dengan dasar benda tersebut dan program yang dimasukkan ke benda tersebut akan berjalan lebih berguna bagi yang menggunakannya.
Etikanya memang memohonkan pada sang hyang pasupati tp kekuatan yang berstana di benda yang dipasupati adalah kekuatan energi ghanta yang sudah difungsikan sesuai utk memfungsikan benda yang dipasupati karena kekuatan yang relevan pada jaman ini adalah energi ghanta, semua benda yang dipasupati akan menjadi metaksu dengan berdiamnya sumber energi pd benda tersebut yaitu adhitaksu.
Silahkan dibandingkan benda-benda yang sudah dipasupati apapun itu dengan benda-benda yang dipasupati dengan energi ghanta pasti akan jauh dari yang diharapkan fungsinya
Atau silahkan pasupati sendiri benda-benda yang anda punyai (jika anda sudah merasa mampu) dan bandingkan dengan hasil pasupati dari ida nabe, apakah akan sama hasilnya???? Silahkan dinilai sendiri……..
Mengenai pemakaian produk seperti kalung ghanta atau dupa gandasidhi atau minyak dan lainnya yang diproduksi melalui proses pasupatian itu memang sasarannya ke orang diluar anggota ghanta, tapi jika ada sisya (murid) yang mau membelinya alangkah dihargai hal tersebut disamping utk menambah keyakinan, hal itu juga bisa membantu secara finansial yayasan serta juga menunjukkan kebanggaan sisya dengan ghantayoga.
Sisya yang selalu membicarakan mengenai ghantayoga menunjukkan keyakinananya dan kebanggaannya akan ajaran yang dipelajari serta pengetahuannya sdh meningkat akan ajaran ghantayoga dan mau membagikan vibrasi energi ghanta ke orang lain daripada membicarakan keilmuan lain diluar yang telah diajarkan dari ghanta, menunjukkan sisya tersebut jarang bahkan tidak pernah melatih ajaran ghantayoga dalam kesehariannya dan semakin tidak mengerti akan ajaran ghanta yoga dan karena hanya ingin menunjukkan pengetahuannya sehingga yang dibicarakan selalu hal-hal yang di luar ghanta yoga utk menutupi ketidak mengerti nya terhadap ajaran ghanta yang notebene tidak pernah dilatih dan dikonsultasikan ke pembina, itu menunjukkan sisya tersebut sudah menurun keyakinannya terhadap ghanta yoga dan diharapkan sisya tersebut segera berkonsultasi sesering mungkin dengan pembina dan jika hal tersebut tidak bisa menambahkan keyakinan terhadap ajaran ghanta yoga sebaiknya sisya tersebut segera mungkin mengundurkan diri dari yayasan daripada meng-kotaminasi sisya yang lainya dan menimbulkan keraguan bagi sisya yang mudah goyah keyakinannya atau yang baru setengah-setengah keyakinannya terhadap ajaran ghanta yoga.
Ajaran ghanta yoga keluarnya dari guru ghanta yoga itu sendiri, jadi apapun yang dikatakan guru ghanta yoga itulah yang mesti dijalankan karena itu merupakan kebenaran yang mesti diikuti, semua itu merupakan tanggung jawab beliau dengan berani memberikan saran terhadap sisyanya otomatis hal itu akan ditanggung sendiri oleh sang guru sampai hal yang disarankan tersebut menjadi kenyataan dalam kehidupan sisyanya, jadi jika semua saran dr guru diragukan bahkan tidak dijalankan itu menunjukkan sisya sdh tidak ada respect terhadap gurunya dan itu menunjukkan pula ketidak bergunanya seseorang belajar di ghanta yoga dan saran yang terbaik bagi sisya tersebut adalah agar sisya tersebut segera pula mengundurkan diri dari ajaran ghanta yoga. 

- Copyright © All About Bali and Culture - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -